Rabu, 29 Juni 2016

KAJIAN PUISI



 Amir Hamzah Sebagai Kontribusi Sastra Melayu yang Religius Tertuang dalam Sajaknya yang Berjudul “Do’a”

            Amir Hamzah dilahirkan tanggal 28 Februari 1911 dari kalangan bangsawan di Tanjungpura, Lakat, Sumatera Utara. Meninggal pada tanggal 20 Maret 1946 sebagai korban dari revolusi sosial yang bergejolak hebat didaerahnya. Maka ungkapan yang mengatakan bahwa ”revolusi memangsa anaknya sendiri” sangatlah tepat jika dikenakan pada Amir Hamzah, penyair Pujangga Baru terbesar yang paling berpengaruh, yang kedalaman serta keindahan sajak-sajaknya tak bisa terhapuskan dari sejarah kesusastraan Indonesia.[1]
            Abrar Yusra dalam pengantar buku Amir Hamzah Penyair dan Manusia yang di editornya, menulis sebagi berikut:
Meminjam istilah T.S Elliot-melibatkan diri kita, setidaknya kesadaran kita, tentang berapa gemuruh dan tidak matian-matiannya Amir Hamzah sebagai penyair. Boleh jadi karena suaranya yang murni, yang seolah keluar langsung dari hati kecilnya, sehingga ahli-ahli dan penganut kebenaran fiqih tidaklah memprotesnya ketika ia melukiskan Tuhan sebagai: Engkau cemburu/Engkau ganas/Mangsa aku dalam cakarMu/Bertukar tangkap dengan lepas.[2] Dalam puisi Amir Hamzah kali ini akan membahas mengenai puisinya yang berjudul “Doa”.
Latar belakang sosok Amir Hamzah ini sangat berpengaruh dalam karya-karyanya. Kritikus sastra kita, H.B Jassin, menyebut penyair yang dikenal berhati lembut ini sebagai raja penyair Pujangga baru, dan ia menggunakan sebutan tersebut untuk judul buku yang terkenal mengenai Amir Hamzah. Bagi kritikus sastra ini, Amir Hamzah merupakan penyair besar dan religius yang berhasil meletakkan tradisi kesusatraan Indonesia modern. Kemurnian nada dan gaya kepenyairannya yang tak dapat ditiru orang, juga kerinduannya kepada Tuhan, niscanya telah menempatkan kepenyairannya melampaui batas-batas angkatan serta lingkungan geografis sosial.[3]
            Studi tentang kepenyairan Amir Hamzah yang dilakukan Salleh Yaafar dari Malaysia menempatkan penyair sastun ini sebagai penyair religius yang matang, yang sajak-sajaknya mempunyai pengaruh kuat serta menjadi sumber inspirasi bagi para penyair yang datang sesudahnya, termasuk Chairil Anwar salah satunya.
            Ajib Rosidi berpandangan bahwa diantara penyair sebelum perang, Amir Hamzah adalah penyair yang paling halus, paling mesra dan paling mengkhususkan diri sebagi penyair. Meski ia pun ada juga menulis sejumlah prosa, diantaranya berupa studi tentang kesusastraan Melayu lama, namun kehadiran Amir Hamzah dalam dunia kesusastraan Indonesia, terutama ditandai oleh dua kumpulan sajaknya yang terkenal, yakni Buah Rindu (1941) dan Nyaian Sunyi (1937)[4]
             Amir Hamzah dalam membangun puisi Indonesia modern, yang pada kenyatannya sekarang bahasa Indonesia sendiri banyak diperkaya oleh kosa kata maupun idiom yang berasal dari bahasa-bahasa daerah. Pada titik ini sumbangan Amir hamzah dan Chairil Anwar dalam memperkaya bahasa Indonesia, khususnya dalam persajakan, sama penting dan berharganya. Amir membuat Chairil membuat bahasa Indonesia menjadi komunikatif dan ekspresif.[5]
            Abdul Hadi W.M yang merupakan pakar sufistik dalam essainya “Amir Hamzah dan Relevansi Sastra Melayu“, mengajak kita untuk menengok sejenak kesusastraan Melayu Klasik sebagi salah satu cara untuk memahami sajak-sajak Amir Hamzah, Menurut Abdul Hadi, membaca sajak-sajaknya secara mendalam dan kemudian membandingkannya dengan puisi-puisi terbaik Melayu Klasik, akan tampak bahwa dibelakang kepenyairanya membentang suatu khazanah sastra dengan gagasannya yang mungkin berbeda jika dibanding gagasan mobernisme Sultan Takdir Alisjahbana dan Chairil Anwar. Perbedaan tersebut terutama tercermin pada gambaran duai serta wawasan estetik yang mendasari sistem sastra masing-masing. Hal ini tidak semata-mata disebabkan perbedaan-perbedaan pengalaman maupun latar belakang sosial, melaikan disebabkan oleh pandangan terhadap agama dan kebudayaan.[6]
            Jika mengamati penyair-penyair Melayu Klasik, maka kita akan menemukan sisi perbedaannya dengan Pujangga-pujangga Jawa Kuno, terutama dalam menemparkan dalam menempatkan diri pada lingkungan sosial. Pujangga-pujangga Jawa memilki kekuatan spiritual berkat tapa bratanya, sehingga mereka di sanjung dan disegani masyarakatnya serta mendapatkan pujian dari kaum bangsawan bahkan raja-raja. Sebaliknya, penyair-penyair Melayu Klasik memandang diri merek sebagai fakir, pedagang ataui anak hulubalang. Sering juga mereka meyebut dirinya tabib, salik, atau asyik yang maknanya kurang lebih sebagi penempuh jalan rohani. Seorang fakir selalu memerlukan kehadian  Tuhan karena pada dasarmnya manusia tidak memiliki apa-apa.
            Begitu juga denga Amir Hamzah, dalam banyak sajak ia sering menyebutkan dirinya musafir lata yang maknanya tak jauh berbada dengan fakir, orang yang selalu merindukan kehadiran Tuhan. Sajak-sajak Amir Hamzah termasuk karya-karya terjemahannya yang dikumpulkan dalam Setanggi Timur merupakan dokumen pencarian serta perjalanan kerohaniannya menuju Yang Satu seperti dalam puisinya yang berjudul “Doa” pada bait terakhir tertulis :
Aduh, Kekasihku, isi hatiku dengan katamu, penuhi dadaku dengan cahayamu, biar bersinar mataku sendu biar berbinar gelakku rayu![7]
            Jejak yang digoreskan Amir Hamzah nampak semakin memanjang ketika pada awal 1980-an Abdul Haadi W.M dan kawan-kawan menyerukan untuk kembali ke akar, kembali ke sumber. Ratusan essai yang merupakan hasil studinya tentang sastra profetik dan sufistik dari khasanah kesusastraan Timur, termasuk Melayu klasik dan Jawa kuno, kemudian menandai hadirnya gerakkan sastra religius ditanah air. Lewat rubik budaya di harian Berita Budaya, Pelita dan Ulumul Qur’an banyak penyair yang berkecenderungan sufistik muncul ke permukaan. Nama-nama seperti Hamid Jabbar, A Mustofa Bisri, D. Zawawi Imroh, Emha ainun Nadjib dan Ajamuddin Tifani, Ahmadun Yosi Herfanda, Ahmad Nurulloh dan Jamal D. Rahman ikut menegaskan adanya gerakan sastra religius ini. Dan jika diteliti dengan seksama, kita akan segera menemukan benang merah yang menghubungkan kepenyairan mereka dengan jejak yang ditinggalkan Amir Hamzah. Dan nampaknya jejak tersebut akan terus memanjang dan semakin memanjang.[8]
Analisis yang digunakan dalam puisi “Doa” ini yaitu menggunakan pendekatan objektif yang menganalisis karya sastra secara unsur-unsur Intrinsiknya, yang mencakup beberapa aspek di dalamnya, seperti : Tema, Pembicara, Diksi, Repetisi, Aliterasi, Majas, dan Imaji. Berikut analisis Puisi Amir Hamzah yang berjudul “Doa”.
DOA
Dengan apakah kubandingkan pertemuan kita, Kekasihku?
Dengan senja samar sepoi, pada masa purnama meningkatkan naik, setelah menghalaukan panas payah terik.
Angin malam mengembus lemah, menyejuk badai, melambung rasa, menanyang pikir, membawa angan ke bawah kursimu.
Hatiku terang menerima katamu, bagai  binatang memangsa lilinya.
Kalbuku terbuka menunggu kekasihmu, bagai sedap malam meyirak kelopak.
Aduh, Kekahku, isi hatiku dengan katamu, penuh dadaku dengan cahayamu, biar berbinar mataku sendu, biar berbinar gelakku rayu!

1.    Tema
Tema dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia tema berarti pokok pikiran dasar cerita yang dipakai sebagai dasar mengarang atau pun menggubah sajak. Puisi Amir Hamzah ini bertemakan tentang keagamaan segi religius seorang Amir Hamzah yaitu seorang hamba yang dekat akan Tuhannya sampai-sampai ia menganggap Tuhannya itu adalah sebagai kekasihnya, kedekatannya kepada Tuhan sangat tergambar jelas dari bait awal.
2.    Pembicara
Pembicara pada sebuah teks puisi kita namakan si aku, si aku lirik atau subjek lirik karena teks puisi biasanya bersifat monolog, maka pembicaranya mempunyai tempat utama. Semua kata didalam teks langsung bersumber pada si aku dan sering kali juga langsung berhubungan denganya. Dalam banyak sajak pembicara bukan saja pihak yang mengatakan semuanya tetapi juga tokoh pusatnya, yaitu menjadi pokok pembicaraan. Bahwa pembicara dalam sajak bertutur tentang dirinya sendiri menjadi jelas bila kita jumpai kata-kata seperti “aku”,”ku”,”daku”,”beta”,”ku”, atau “hamba”.[9] Dalam puisi “Doa” karya Amir Hamzah ini terbukti dari penjelasan diatas bahwa pembicara dalam puisi tersebut adalah penyair itu sendiri, karena terdapat “ku” pada bait pertama. berikut lariknya “Dengan apakah kubandingkan pertemuan kita, Kekasihku?”
3.        Diksi
Diksi adalah pemilihan kata dalam sajak. Dalam mengekspresikan persamaan dan isi pikirannya, seorang penyair menggunakan kata-kata yang tepat untuk mendapatkan nilai yang indah atau estetik[10]. Dalam puisi “Doa” ini penyair menggunakan bahasa-bahasa yang sarat akan makna, kata-kata yang estetik melekat pada puisi tersebut, penggunaan bahasa Indonesia yang baik memang tercermin dari sosok Amir Hamzah tertuang dalam sajak-sajaknya yang indah.
4.    Repetisi
Repetisi adalah perulangan bunyi, suku kata atau bagian kalimat yang dianggap penting untuk memberi tekanan dalam sebuah konteks yang sesuai.
Dalam puisi “Doa” terdapat Repetisi Anadiplosis yaitu kata atau frase terakhir dari suatu klausa atau kalimat menjadi kata atau frasa pertama dari klausa atau kalimat [11]. Seperti dalam kutipan puisi “Doa” berikut ini.
Dengan apakah kubandingkan pertemuan kita, Kekasihku?
Dengan senja samar sepoi, pada masa purnama meningkatkan naik, setelah menghalaukan panas payah terik.
5.    Aliterasi
Aliterasi adalah semacam gaya bahasa yang wujud perulangan konsonan yang sama[12]. Seperti dalam kutipan puisi “Doa” berikut ini.
Angin malam mengembus lemah, menyejuk badai, melambung rasa, menanyang pikir, membawa angan ke bawah kursimu.
6.    Majas
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, majas adalah cara melukiskan sesuatu dangan jalan menyamakan dengan sesuatu yang lain dapat disebut juga kiasan dengan kata lain, majas mempersamakan sesuatu dengan sesuatu hal agar dapat digambarkan dengan lebih jelas dan agar mandapatkan nilai keindahannya Gorys Keraf dalam bukunya yang berjudul diksi dan gaya bahasa, diperjelas macam-macam majas, diantaranya:
a.)           Majas persamaan atau simile adalah perbandingan yang bersifat eksplinsit yang maksud dengan perbandingan yang bersifat eksplinsif ialah bahwa ia langsung menyatakan sesuatu sama dengan hal yang lain, untuk itu ia memerlukan upaya yang secara eksplinsit menunjukan kesamaan itu. Seperti dalam kutipan puisi “Doa” berikut ini.
Hatiku terang menerima katamu, bagai  binatang memangsa lilinya.
Kalbuku terbuka menunggu kekasihmu, bagai sedap malam meyirak kelopak.
b.)          Majas metafora adalah kata yang tidak memiki arti sebenarnya. Seperti dalam kutipan puisi “Doa” berikut ini.
Angin malam mengembus lemah, menyejuk badai, melambung rasa, menanyang pikir, membawa angan ke bawah kursimu.
c.)           Majas personifikasi atau prosopopoeia adalah semacam gaya bahasa kiasan yang menggambarkan benda-benda mati atau barang-barang yang tidak bernyawa seolah-olah memilki sifat-sifat manusia. Seperti dalam kutipan puisi “Doa” berikut ini.
Angin malam mengembus lemah, menyejuk badai, melambung rasa, menanyang pikir, membawa angan ke bawah kursimu.

d.)     Majas hiperbola adalah semacam majas yang mengandung sesuatu pernyataan yang berlebihan, dengan membesar-besarkan sesuatu hal[13]. Seperti dalam kutipan puisi “Doa” berikut ini.
Angin malam mengembus lemah, menyejuk badai, melambung rasa, menanyang pikir, membawa angan ke bawah kursimu.
7.    Imaji atau Citraan
Imaji menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah Sesuatu yang di bayangkan. Citraan adalah Gambaran-gambaran angan (pikiran) yang penyair gunakan untuk menimbulkan suasana yang khusus untuk membuat karya sastra lebih hidup gambaran dalam pikiran dan pengindaan dan juga lebih menarik perhatian.[14] Menurut penulis Imaji atau citraan dalam puisi Do’a Amir Hamzah terdapat Imaji Visual, Imaji Auditif, dan Imaji Perasa.
a.)      Imaji Visual
Pencitraan visual merupakan penginderaan atau presepsi, tetapi juga “mewakili” atau mengacu pada sesuatu yang tidak nampak, sesuatu yang berada di dakam (inner). Pencitraan visual dapat sekaligus menunjukan ke sesuatu yang nyata atau tidak tampak.[15] imaji visual berhubungan dengan pengelihatan manusia atau sesuatu yang nampak terlihat oleh mata teks puisi yang apa bila dibaca dapat langsung di interpretasikan dengan indra pengelihatan di kehidupan nyata. Seperti dalam kutipan puisi “Doa” berikut ini.
Dengan senja samar sepoi, pada masa purnama meningkatkan naik, setelah menghalaukan panas payah terik.
Dalam kutipan tersebut jelas tergambarkan waktu atau suasana dalam puisi tersebut, waktu yang ditunjukan dalam puisi tersebut adalah saat Magrib menjelang Isya.



b.)      Imaji Auditori
Imaji auditori merupakan gambaran dalam puisi yang dapat diterima oleh indra pendengaran manusia. seolah-olah pembaca dapat mendengar hanya dengan membaca puisi tersebut. Seperti dalam kutipan puisi “Doa” berikut ini.
Aduh, Kekahku, isi hatiku dengan katamu, penuh dadaku dengan cahayamu, biar berbinar mataku sendu, biar berbinar gelakku rayu!
Gelakku diartikan suara tertawa yang terdengar sangat keras
c.)    Imaji Perasa
Imaji perasa biasanya pembaca seolah-olah dapat merasakan peraan tokoh lirik pada puisi. Imaji perasa sesuatu yang bisa dirasakan, diraba dan disentuh. Seperti dalam kutipan puisi “Doa”di berikut ini.
Hatiku terang menerima katamu, bagai  binatang memangsa lilinya.
Tergambar jelas bahwa puisi tersebut mengibaratkan bahwa si aku dalam puisi tersebut merasa damai karna dekat dengan Tuhan yang disebutnya sebagai kekasih.

Makna yang terkandung dalam dalam Puisi “Doa”
“Doa” Amir Hamzah bersifat plasitis. Dalam pusinya Amir Hamzah ingin menunjukan kemesraan hubungannya dengan Tuhan bagikan kemesraannya dengan kekasih. Dalam puisi ini bahkan Tuhan disapa dengan kata “kekasihku”.[16]
Puisi ‘Doa’ karya Amir Hamzah terdiri atas dari tiga bait yang menunjukan kesejajaran gagasan. Sesuai dengan zamanya Pujangga Baru, Amir Hamzah mempergunakan ekspresi romantik dengan cara metaforis-alegoris yaitu dengan menyebutkan Tuhan dengan sebutan kekasih hal ini karena penyair ingin menunjukan kemesraan hubungannya dengan Tuhan bagaikan kemesraannya dengan sang kekasih. Hal ini dapat dilihat sebagai berikut:
Dengan apakah kubandingkan pertemuan kita, kekasihku?
Kalbuku terbuka menunggu kasihMu
Aduh, kekasihku, isi hatiku dengan kata Mu
Pada puisi ‘Doa’ karya Amir Hamzah mengandung makna waktu pertemuan antara si aku dengan kekasih Tuhan artinya, si aku sebagai mahluk ciptaan-Nya dan Tuhan bagai pencipta-Nya atau pertemuan itu dilakukan waktu shalat saat si aku ini berserah diri pada Tuhan. Sampai-sampai waktu tersebut dianggap sangat berharga, sehingga waktu tersebut tidak mau dilewatkan atau terabaikan. diibaratkan pertemuanya itu seperti pertemuan dengan sang kekasih. pertemuan itu dilaksanakan setelah shalat Magrib menjelang Isya. hal tersebut terbukti dalam penggalan puisi berikut ini
Dengan apakah kubandingkan pertemuan kita, kekasihku?
Dengan senja samar sepoi, pada masa purnama meningkat naik, setelah menghalaukan panas payah terik.
Puisi “Doa” mengandung makna permohonan si aku kepada Tuhan agar diberi petunjuk dan mencari ridho ilahi, supaya hati si aku merasa bahagia tentram dan damai.
Aduh kekasihku, isi hatiku dengan kata-Mu, penuhi dadaku dengan cahayamu, biar bersinar mataku, biar berbinar gelakku rayu!




Daftar Pustaka

Rahman Jamal D. dkk. 2014. 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh. Jakarta: PT Gramedia
Jan Van Luxemburg.1989. Tentang Sastra Jakarta: Intermasa
Pradopo Rachmat Djoko. 2007. Kajian Puisi.Yogyakarta : Gajah Mada University Press
Keraf Gorys. 2007. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: Gramedia
Siswanto. 2014. Metode Penelitian Sastra Analisis Struktur Puisi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Wellek Rene & Austin Warren. 1989. Teori Kesusastraan. Jakarta: Gramedia
Waluyo Herman J. 1995. Teori dan Apresiasi Puisi. Jakarta : Penerbit Erlangga


[1]Jamal D. Rahman dkk, 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh (Jakarta: PT Gramedia,2014), hlm 167
[2] Ibid. hlm. 168
[3] Ibid. hlm. 169
[4] Ibid. hlm. 169-170
[5]Ibid. hlm. 178
[6] Ibid. hlm.180
[7] Ibid. hlm.183
[8] Ibid. hlm. 185
[9] Luxemburg Jan Van, Tentang Sastra, (Jakarta: Intermasa,1989) hlm. 71-72
[10] Rachmat Djoko Pradopo, Kajian Puisi, (Yogyakarta : Gajah Mada University Press,2007) hlm.54
[11] Gorys Keraf, Diksi dan Gaya Bahasa, (Jakarta:Gramedia,2007) hlm.127-128
[12] Ibid. hlm. 130
[13] Ibid. hlm 135-140
[14]Siswanto, Metode Penelitian Sastra Analisis Struktur Puisi,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014) hlm. 210
[15] Rene Wellek & Austin Warren, Teori Kesusastraan,(Jakarta: Gramedia, 1989), hlm 238
[16] Herman J. Waluyo, Teori dan Apresiasi Puisi ( Jakarta : Penerbit Erlangga, 1995) hlm. 120

Jumat, 24 Juni 2016

PUISI SASTRA

Belajar Membaca
Sutardji Calzoum Bachri

Kakiku luka
Luka kakiku
Kakikau lukakah
Lukakah kakikau
Kalau kakikau luka
Lukakukah kakikau
Kakiku luka
Lukakaukah kakiku
Kalau lukaku lukakau
Kakiku kakikaukah
Kakikakukah kakiku
Kakiku luka kaku
Kalau lukaku lukakau
Lukakakukakiku lukakakukakikaukah
Lukakakukakikaukah lukakakukakiku

Amuk
Sutardji Calzoum Bachri

Maafkan aku
Aku bukan sekedar penyair
Aku depan             
Depan yang memburu
Membebaskan kata
Memanggil Mu

Pot pot pot
Pot pot pot
Kalau pot tak mau pot

Biar pot semau pot
Mencari pot
Pot
Hei, Kau dengar manteraku
Kau dengar kucing memanggilMu

Izukalizu
Mapakazaba itasatali
Tutulita
Papaliko arukabazaku kodega zuzukalibu
tutukaliba dekodega zamzam lagotokoco
zukuzangga zagezegeze zukuzangga zege
zegeze zukuzangga zegezegeze zukuzang
ga zegezegeze zukuzangga zegezegeze zu
kuzangga zagezegeze aahh....!

Nama nama kalian bebas
Carilah tuhan semaumu

SEJARAH

Wiji Thukul

Esai oleh Munir, SH

 

Orang bijaksana telah banyak mendatangimu
Untuk memberikan ajaran kebijaksanaannya
Namun aku datang mengambil kebijaksanaan itu
Lihat, lihatlah, kutemukan sesuatu
Yang malah lebih besar dari kebijaksanaan
Itulah sumber semangat dalam dirimu
(Kahlil Gibran dalam Sang Nabi)



Hanya ada satu kata, Lawan! kalimat pendek itu jauh lebih dikenali ketimbang Wiji Thukul sebagai seorang yang telah menorehkan sebuah puisi perlawanan. Dia telah berhasil menemukan api bagi sebuah simbol perlawanan. Hanya ada satu kata, Lawan! telah menjadi semacam roh bagi kebangkitan jiwa-jiwa yang mencoba menemukan kembali jati dirinya, yaitu sebuah kekuatan melawan rezim otoritarianisme. Tidak ada satu pun kelompok perlawanan yang kemudian tidak menggunakan kalimat pendek itu sebagai tekad bagi sebuah perubahan, tidak peduli itu mahasiswa, buruh, petani, guru, bahkan murid SMU. Memang kalimat itu belum mendunia seluas adagium-adagium kelas dunia seperti "ora et labora" dan "vini vidi vici", tapi memang kalimat pendek itu telah menunjukkan pilihan hidup Wiji Thukul untuk bergabung dengan setiap barisan perlawanan atas rezim militeristik Orde Baru. Pilihan itu memang bukanlah pilihan yang mudah, Wiji Thukul telah membayarnya dengan mahal, ia telah menjadi korban praktik penghilangan orang (Involuntary Dissaperances).

Sebagai seorang aktivis dan seniman rakyat, Wiji Thukul memang dengan tepat menggambarkan keterwakilan kelas sosialnya. Pilihan untuk kemudian bergabung bersama buruh, dan kaum miskin lainnya dalam sebuah semangat yang semakin menguat, bahwa segala bentuk kemiskinan itu bukanlah semata-mata hadiah dari kekuasaan Tuhan, akan tetapi peluang dan kesempatan itu telah dilahap oleh kekuasaan politik dan modal. Thukul, yang memang lahir dari bagian mereka yang terdepak keras oleh arus alienasi sistem bernegara itu, sadar benar bahwa sebuah perubahan dan perlawanan musti dimulai. Tampaknya, dia sama sekali tidak peduli apakah itu dimulai dari kedahsyatan ekspresi perlawanan dalam sebuah puisi, atau dia memang memilih bergerak secara fisik dalam gelora gerakan rakyat.

Medio Mei 1998, ketika Soeharto lengser dari puncak kekuasaannya, Thukul pun menghilang. Mungkin riuh rendah dan pesta kemenangan ilutif di sekujur tubuh nusantara berakibat orang lupa di mana Thukul berada. Mungkin ketika kita menatap dengan penuh harapan kalimat-kalimat penuh kebohongan Soeharto menyatakan mengundurkan diri dari jabatannya, kita lupa adanya biaya yang begitu mahal harus dibayar, jatuhnya banyak korban anak bangsa yang memiliki hati nurani dan bersit harapan Indonesia menjadi bangsa yang berkeadilan. Di momen itulah Thukul terlupakan, dan semua berkata, ... tidak tahu....

Kabar tentang hilangnya Wiji Thukul tidak jelas benar dapat ditangkap. Kalau beberapa aktivis yang lain hilang, dengan cepat langit perpolitikan dan hukum nasional menjadi hangat dengan protes dan kemarahan. Namun, dari waktu ke waktu kabar Thukul hilang menjadi perdebatan keraguan. Sebagian kalangan menyatakan ia tetap ada dan sedang menenangkan diri, menurut sebagian yang lain Thukul telah menjadi korban langkah kasar kekuasaan militer, diculik. Serba ketidakjelasan itu, tampaknya lahir dari kuatnya kepribadian Thukul yang dikenali oleh lingkungannya. Thukul benar-benar sosok militan yang cukup cerdik untuk menggerakkan dirinya dan anggota masyarakat lain untuk peduli akan masa depan. Di balik ketegaran itu, Thukul adalah pribadi yang penuh misteri, seperti banyaknya lompatan misteri di balik puisi-puisinya. Karena kuatnya kepribadian dan pendirian itu, sekaligus dirinya yang penuh misteri itulah beberapa kawan terdekatnya pun Thukul tidak mengalami peristiwa penghilangan orang secara paksa, tapi Thukul memiliki pilihan untuk tidak pernah muncul.

Tapi, lain dengan Sipon, istri tercinta Thukul, justru terus-menerus meyakini Thukul telah diculik oleh alat-alat kekuasaan. Keyakinan itu bukan tanpa alasan. Thukul tetaplah figur yang didukungnya untuk terus memperjuangkan perubahan dan Sipon pun tak meragukannya. Berbagai pengalaman kehidupan bersama dan berbagai gejala ketidakwajaran di balik ketidakmunculan suaminya, yang sekaligus tokoh perjuangan idolanya itu, telah menuntun Sipon menyimpulkan bahwa Thukul mengalami nasib yang sama dengan beberapa kawan dekatnya yang telah hilang sebelumnya di tangan kekuasaan militer.

Panjang perjalanan misteri untuk mencari jawaban atas tidak munculnya Thukul. Akhirnya, baru hampir dua tahun kemudian ditemukan garis merah bahwa penghilangan itu dilakukan oleh alat-alat negara pada pertengahan Mei 1998, saat detik-detik kekuasaan Soeharto bertahan. Akhirnya, memang Thukul melengkapi daftar orang hilang karena aktivitas politiknya telah menyinggung batas nafsu kekuasaan Orde Baru.

Kisah penghilangan orang ini, dalam sejarah Indonesia telah menorehkan realitas adanya sebuah kejahatan politik oleh negara. Mereka semua yang pernah disuarakan dan berbaris dalam jajaran perlawanan bersamanya telah dihantam oleh cakar-cakar kekuasaan yang tidak kenal bagaimana kekuasaan dipertahankan. Catatlah ribuan orang hilang di Aceh dan Papua, ratusan orang petani yang hilang ketika mempertahankan tanah masa depannya, ribuan orang hilang dalam pergolakan politik sepanjang medio tahun enam puluhan, ratusan orang yang hilang sepanjang berlangsungnya pembantaian besar-besaran atas lawan politik Orde Baru di balik peristiwa Lampung, Priok, kerusuhan Mei 1998, 27 Juli 1996, Haor Koneng, serta politik adu domba dan kegagalan negara bertanggung jawab atas pertikaian antaranggota masyarakat dalam kasus Sambas, Kupang, dst. Catatan itu akan semakin panjang kalau kemudian kita melihat lebih rinci bagaimana Orde Baru dengan kekuatan militernya beroperasi menghancurkan sumber-sumber kekuatan demokratisasi.
***

Penghilangan orang adalah sebuah kejahatan yang berat dan mendasar dari berbagai bentuk pelanggaran HAM. Penghilangan orang itu menjadi bagian dari apa yang disebut Crimes Againt Humanity, yaitu sebuah kejahatan yang dilakukan secara sistematik oleh negara dengan berbagai motif politik antidemokrasi. Kejahatan ini tidak dapat disederhanakan menjadi semata-mata tindakan yang dapat dibenarkan dengan alasan menjaga stabilitas atau ideologi negara. Bukankah soal stabilitas dan ideologi sejauh ini merupakan alat bagi rezim Orde Baru yang melindungi otoritas kekuasaan serta motif-motif ekonomi di dalamnya? Sehingga tidak mungkin kejahatan penghilangan orang ini dilihat sebagai pintasan sejarah buruk Orde Baru tanpa dibongkar kembali atau dipertanggungjawabkan.

Pada akhir tahun 1998, masih jelas di ingatan kita militer menggelar peradilan atas "Tim Mawar", yaitu beberapa perwira muda Kopassus yang mengaku sebagai pahlawan hati nurani untuk rezim Orde Baru yang telah melakukan penculikan terhadap beberapa aktivis. Peradilan yang berlangsung setengah hati itu berlangsung ibarat kilatan kamuflase politik untuk menutup apa yang sebenarnya terjadi dalam "politik penghilangan orang" sepanjang Orde Baru. Tentu sulit diterima akal sehat para perwira muda itu mengambil keputusan untuk melakukan penculikan terhadap para aktivis politik di berbagai wilayah negara, lintas provinsi, lintas pulau, menyekap para aktivis tersebut selama tiga bulan sampai satu setengah tahun tanpa persetujuan dan modalitas negara. Operasi itu jauh melampaui kapasitas mereka, bagaimana mungkin perwira menengah Kopassus dapat memaksa beberapa Pangdam untuk tidak menghalangi operasi penculikan. Kapolri terpaksa menjadikan diri bamper kekuasaan untuk mengklaim kepada publik bahwa penculikan itu adalah tindakan kepolisian sebagai langkah polisionil, dan seterusnya. Dengan sedikit menggunakan akal sehat, pasti kita akan katakan ini semua hanyalah akal-akalan penghindaran tanggung jawab negara.

Dewan Kehormatan Perwira (DKP) muncul untuk memberikan jawaban atas berbagai langkah kehilangan logika yang dilakukan dari skenario "Tim Mawar". Akan tetapi, sekali lagi para jenderal itu dicopot dari jabatan dengan berbagai alasan yang penuh kekaburan. Tampak DKP merupakan langkah untuk menempatkan semua pertanggungjawaban politik negara atas berbagai praktik kejahatan kemanusiaan itu pada beberapa orang semata, seolah Orde Baru hanyalah urusan beberapa oknum itu. Kepada publik permainan DKP itu diumummkan sebagai hasil kerja multifungsi, yaitu untuk memberikan jawaban terhadap kasus penghilangan orang, tetapi juga terhadap kejahatan kemanusiaan yang berlangsung bulan Mei 1998. Segeralah upaya mempertahankan diri dari pertanggungjawaban itu dipaksakan bahwa semua tindakan penghilangan orang telah dipertanggungjawabkan. Dan tentunya pengakuan yang diperoleh sangat terbatas, bahwa militer hanya menculik para aktivis dan kemudian telah dipulangkan.

Kembali misteri tidak terjawab, di mana para aktivis yang diculik itu berada. Tetaplah kejahatan itu tidak terjawab. Dan kini, semua ini masih harus berhadapan dengan sisa-sisa resistensi militer dan Orde Baru untuk bertindak jujur menjelaskan keberadaan mereka yang dihilangkan dan bertanggung jawab atasnya. Tentunya perjuangan ke arah itu masih panjang, tapi sekali ini semua kejahatan kemanusiaan harus dilawan. Dan Thukul adalah guru kita bersama untuk melawannya. Untuk itu hanya ada satu kata, Lawan!


Sumber: Buku Kumpulan Puisi Wiji Thukul Aku Ingin Jadi Peluru, Indonesia Tera Magelang, April 2004

SEJARAH SASTRA INDONESIA



RANGKAIAN POLEMIK LEKRA DALAM SEJARAH SASTRA INDONESIA

Berbicara mengenai Rangkaian Polemik Dunia Sastra pasti takkan lepas dari yang namanya  Sejarah Sastra. Sejarah Sastra merupakan history tentang dunia kesusastraan yang memunculkan polemik serta melahirkan sastrawan dan karyanya yang memang mempengaruhi dalam perkembangan pada kesusastraan Indonesia dan didokumentasikan sebagai ilmu pengetahuan dalam bidang kesusastraan Indonesia.[i] Dunia Sastra bukan lagi sebagai ajang penyongsong sebuah nama dari sekumpulan karya namun juga merupakan tanda dari perkembangan bangsa yang menjadi cerminan bangsa pada saat itu yang dituangkan dalam sebuah rangkaian kata yang bernilai seni yang didalamnya berupa suatu ekspresi dan kreasi estetis seorang sastrawan yang memiliki nilai serta potensi didalam sebuah karyanya tersebut.
            Sastra dan politik dua bidang yang berbeda namun terkadang keduanya sangatlah berkaitan erat dalam suatu pandangan mengenai pemikirannya terhadap ideologi.[ii] Pada tahun 1955 Indonesia mengadakan pemilihan umum pertama, yang dimana memunculkan beberapa partai politik yaitu PNI (Partai Nasional Indonesia), PKI (Partai Komunis Indonesia), NU (Nahdatul Ulama , partai muslim tradisional), Masyumi (Madjelis Sjuro Muslimin Indonesia, partai muslim modern) serta PSI (Partai Sosialis Indonesia) namun partai politik elit PSI ini kurang adanya dukungan dari rakyat sehingga keberadaan partai tersebut itu ditiadakan.[iii] Berbicara Mengenai latar belakang politik dalam dunia sastra yaitu salah satunya adalah Lembaga Kebudayaan Rakyat yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan LEKRA yang dibawah naungan PKI (Partai Komunis Indonesia) pada masa 1950–an hingga pada awal 1960-an, peran keduanya dalam sejarah sastra indonesia perlu diketahui dimana pada masa tersebut terjadi suatu kondisi dimana bangsa indonesia berperang terhadap bangsanya sendiri, berperang terhadap negrinya sendiri, berperang terhadap tanah airnya sendiri yang membuat bangsa indonesia diambang kehancuran, membuat para seniman maupun sastrawan pada saat itu memiliki sebuah pandangan mengenai politik. “politik” sangatlah berkesinambungan antara karya dan pemikiran yang kritis akan sebuah Ideologi yang dituangkan kedalam sebuah karya sastra.[iv]
Diketahui pula bahwa peranan PKI pun sangatlah berpengaruh dalam perkembangan Sejarah Indonesia, kebanyakan bagi  segelintir masyarakat indonesia pada zaman reformasi dulu mereka memiliki pemikiran yang lebih cenderung mengutarakan sikap kritis serta progresif mengenai konsep serta tindakan anggota politik pemeritah dizaman Reformasi, entah mereka yang ingin berjuang demi bangsa atau kita sebut sang pencetak sejarah, atau mereka yang mengutamakan egoisme terhadap sebuah nama besar, tahta dan  jabatan, atau mereka yang ingin menggoncang negrinya sendiri yang menjadikannya negri lautan darah. bukanlah kata hanya saja atau cuman namun inilah realitanya bahwa manusia dapat berbuat apa saja demi memperjuangkan suatu Ideologi.
Lembaga Kebudayaan Rakyat atau disingkat Lekra didirikan pada tanggal 17 Agustus 1950 pendirinya oleh tokoh-tokoh Partai Komunis Indonesia (PKI) yaitu D.N Aidit, Njoto, M.S Ashar, dan A.S Dharta.[v]  Yang pertama kali bertindak dan yang menggerakkan Lekra adalah A.S Dharta sebagai Sekretaris Jendral pada saat itu. Lekra resmi menjadi organisasi yang menjungjung tinggi nilai kebudayaan Rakyat.[vi] Dalam Mukodimah Lekra yang berisikan Rakyat adalah satu-satunya pencipta kebudayaan, dan bahwa pembangunan kebudayaan indonesia itu hanya dapat dilakukan oleh rakyat saja. Revolusi Agustus 1945 membuktikan, bahwa pahlawan di dalam peristiwa  bersejarah ini, seperti halnya didalam seluruh sejarah bangsa kita, tiada lain adalah Rakyat.
Lekra berkerja khusus dilapangan kebudayaan, dan dimasa ini terutama dilapangan kesenian dan ilmu. Lekra menghimpun tenaga dan kegiatan seniman-seniman, sarjana-sarjana, serta pekerja-pekerja kebudayaan lainnya. Lekra mengajak pekerja-pekerja kebudayaan yang bertujuan untuk mengabdikan daya-cipta, bakat serta keahlian mereka guna kemajuan bangsa indonesia, kemerdekaan Indonesia, pembaharuan indonesia. Lekra berpendapat, bahwa secara tegas berpihak kepada rakyat dan mengabdi kepada rakyat adalah satu-satunya jalan bagi seniman-seniman, sarjana-sarjana, maupun pekerja-pekerja kebudayaan lainnya untuk mencapai hasil yang tahan uji dan tahan waktu. Lekra pula mengulurkan tangan kepada organisasi-organisasi kebudayaan yang lain dari aliran atau keyakinan apapun itu, untuk berkerjasama dalam pengabdian yang disalurkan hanya kepada Lekra.[vii] Lekra merumuskan slogan-slogan sebagai penguat kesadaran politik dan sekaligus menjadi pegangan taktis. Slogan “Politik adalah Panglima” diperkenalkan oleh kalangan Lekra karena merupakan semboyan serta pegangan yang menjadikan pengarang seni dari Lekra itu sendiri harus menjurus kedalam politik yang menjadi obor yang menerbelakangi misi Lekra.[viii]
Konfik yang ditimbulkan Lekra pada masa kejayaannya yang memang dalam konteks sebuah lingkup kebudayaan, Lekra melakukan sesuatu metode yang salah satunya yaitu metode komunisme yang sudah terkenal dimana-mana yaitu meneror orang-orang dan golongan yang tidak sepaham atau tidak bisa diajak sepaham dengan mereka. Dalam lingkup sastra satu demi satu pengarang yang mempunyai paham yang berbeda dengan mereka, di hantam, dihujat dan dimusnahkan seperti tindakan Lekra terhadap Tokoh Sastrawan S. Takdir Alisyahbana yang posisinya sebagai anggota politik partai dan juga Hamka mereka menjadi sasarannya, Takdir yang kebetulan itu sedang berada di Malaysia bersama Idrus dan Balfas, maka dimuncukanlah rumor bahwa mereka dicap sebagai pengarang yang Kontra Revolusi, karena Indonesia pada saat itu sedang mengumumkan Kontra Revolusi terhadap negara Malaysia. Hamka pula di hantam dengan tuduhan plagiarisme terhadap karyanya yang berjudul Tenggelamnya Kapal Van Der Wick, namun ketika saat itu Lekra belum sampai pada tahap Agresif, maka persoalan itu seolah tidak ada.[ix]
Sebuah kontroversi yang ditimbulkan oleh Lekra terhadap serangkaian polemik dunia sastra takkan ada habisnya diperbincangkan apabila mengenai sejarah perjalanan satra indonesia, begitu pula banyak sekali menimbulkan pertanyaan serta pemahanan tertentu mengenai konflik yang ditimbulkan oleh Lekra seperti sangkut pautnya terhadap Chairil Anwar dan Gelanggang. Mengapa Chairil Anwar begitu banyak menarik minat orang? Apa peranannya dalam perkembangan dunia sastra indonesia? Mengapa sebagian orang memujinya setinggi langit dan yang lain memakinya sekeji-kejinya pula? Mengapa orang Lekra keras benar menghantam dan hendak menyingkirkannya? Apa yang melatar belakangi Lekra menghantam Gelanggang?. Begitulah polemik dan serba-serbi yang ditimbulkan Lekra.[x]
Seniman Gelanggang Merdeka didirikan pada tahun 1947 dibawah pimpinan  Chairil Anwar dan diikuti oleh Asrul Sani, dan Rivai Apin dan para seniman lainnya yang terkait diantaranya ada pelukis Henk Ngantung, dan penulis Pramoedya Ananta Toer serta penyair Sitor Situmorang. Konflik yang timbul antara Gelanggang dan Lekra yaitu ada beberapa persoalanya yang didalamnya ada suatu persaingan diantara keduanya seperti halnya pandangan Gelanggang terhadap sastra dalam cakupan Lekra yang dinilai “kurang” dan kemampuan dalam berbahasa asing pun minim di bandingkan para pengarang Gelanggang, karena Lekra dikenal erat sebagai partai komunis bukan cakupan dunia sastra yang sesungguhnya. sehingga Gelanggang mudah untuk mencemooh atas pendekatan Lekra terhadap sastra dan seni sebagai propaganda politik semata. [xi]
Chairil anwar adalah sastrawan indonesia yang paling banyak dibahas, dibicarakan, dipersengketakan, dipuji dan dicaci. Pada saat-saat sebelum dekat penghianatan Gestapu, ketika Lekra merajai sastra Indonesia dengan semboyan politik sebagai panglima kesenian-kebudayaan-kesusastraannya, para petinggi Lekra banyak sekali menaruh perhatian lebih dan membuang tenaga lebih untuk menyingkirkan Chairil Anwar pada dunia sastra Indonesia. Chairil Anwar sendiri telah berbalas tahun meniggalkan alam yang  fana ini. Ia meninggal hampir dua tahun sebelum Lekra didirikan.[xii]
Situasi yang sulit kini mulai berimbas kepada pengarang sastra dari pegikut Gelanggang, kini mulai runtuh ibaratnya seperti Tiada Chairil Anwar Tiada Gelanggang, nama Gelanggang sendiri kini mulai redup.  diketahui bahwa salah satu pengikut dan pengarang  Gelanggang Pramoedya Ananta Toer ia kini dihadapi oleh situasi krisis dan puncak kesulitan dalam hidup. Pada sewaktu ketika Pram didekati oleh A.S Dharta yang saat itu menjadi anggota pendiri Lekra, Pram sendiri mengaku bahwa Dhartalah yang membuka matanya terhadap kanyataan-kanyataan sosial dan akan pentingnya arti Rakyat dalam Kesenian dan Kesusastraan. Pada wakrtu itu Dharta memintanya menterjemahkan Ibunda karya Maksim Gorki untuk penerbit Lekra. Pesan menterjemahkan itu oleh Pram dianggap sebagai malaikat penolong yang menyelamatkan rumah tangganya. bisa kita logikakan bahwa Pram sendiri sudah mulai tertarik terhadap lembaga Lekra.[xiii]
Konflik yang ditimbulkan Lekra bukan hanya dengan Gelanggang, Lekra pun juga pernah berseteru dengan Manifes kebudayaan, dulu para budayawan, seniman dan para pengarang hidup dalam suasana mental diteror oleh Lekra dari berdirinya Manifes Kebudayaan ini yang membuat mereka terselamatkan, maka mereka berlomba-lomba dalam mendukung Manifes Kebudayaan. Setelah itu Manifes Kebudayaan menjadi sasaran utama oleh Lekra, julukan Lekra pada Manifes Kebudayaan yaitu “Manikebu” dan dimuat disebuah Pers. Manifes pun takkan diam saja. Mereka mempersiapkan sebuah konperensi para pengarang yang dinamakan konferensi kariyawan pengarang seindonesia (KKPI) konferensi tersebut menghasilkan Persatuan Kariyawan Pengarang Indonesia (PKPI) tetapi sebelum organisasi itu berjalan. Soekarno yang pada saat itu menjabat sebagai  presiden menyatakan ‘Manifes Kebudayaan Terlarang’. Hal ini yang menjadikan Lekra berjaya kembali atas kebinasaan eksistensi dari para pesaingnya.[xiv]
Dibalik berjayanya Lekra pada saat itu ada tokoh-tokoh yang memang sangat berpengaruh yaitu Sitor Situmorang ia mengarang dari kumpulan sajaknya yang berjudul Zaman Baru di muat dalam majalah Lekra yang bernama Zaman Baru di ketuai oleh Rivai Apin. Lekra pula mempunyai surat kabar yang bernama Harian Rakyat yang dipimpin oleh Hr Bandaharo juga merekapun menerbitkan Harian Kebudayaan Baru yang di pimpin oleh S. Anantaguna yang menerbitkan sajak-sajak, cerpen, essai serta karangan.
Sejumlah para pengarang yang mengisi lembaran lembaran kebudayaan itu kian hari kian bertambah. Ada nama-nama yang masuk dari daftar keanggotaan Lekra yaitu Rijono Pratikto, S. Rukiah, Kuslan Budikman, S. Wisnu Kuntjahjo, Sobron Aidit, Utuy T. Sontani, Dodong Djiwapradja, Pramoedya Anata Toer dan lain lain. Diantra penulis Lekra yang memang kemunculan dalam Lekra dan selalu dalam lingkup Lekra yaitu A.S Dharta dan kawan kawannya yang beridentitas sebagai anggota PKI.[xv]
Tercatat ada beberapa nama tokoh dari anggota Lekra yang memang menghasilkan sebuah karya sastra diantaranya : (1.) Agam Wispi puisinya yang berjudul Sahabat (1959) dan Matinya Seorang Sahabat (1962) (2.) Sobron Aidit  menghasilkan kumpulan sajak yang berjudul Pulang Bertempur (1959) (3.) S. Rukiah karyanya yang menghasilkan kumpulan sajak  yang berjudul Tandus (1952), dan novelnya Jatuh Hati (1950) (4.) Dodong Djiapradja, sajaknya yang berjudul Gema Tanah Air (1948), Laut Biru Muda (1977) , dan Tonggak (1987). (4.) Riyono Pratikto karyanya yaitu kumpulan cerpen yang berjudul Api dan Beberapa cerita Pendek Lain (1958).[xvi]
Sedemikian rupa yang ditimbulkan oleh Lekra keadan menjadi berbalik karena seluruh kekuatan komunis berantakan dan munculah kekuatan baru dibawah pimpian Letnan Jandral Soeharto yang kemudian diangakat menjadi Presiden pada tahun 1967. perubahan drastis terjadi, pelarangan PKI pun menjadi jadi, sekelumit yang timbul menjadikan Lekra harus menerima kenyataan pahit bahwa mereka sebagai orang-orang tercala yang diangap berhianat terhadap bangsa dan negara, tidak lama kemudian buku-buku mereka pun dinyatakan terlarang. Tragedi September pun menjadi akhir maraknya slogan “politik adalah sebagai panglima “ dan realisme sosialis telah ditiadakan.[xvii]
Intruksi Mentri Pendidikan Dasar dan Kebudayaan Republik Indonesia no.1381/1965 tentang larangan mempergunakan buku-buku pelajaran, perpustakaan dan kebudayaan yang dikarang oleh oknum-oknum dan anggota-anggota Ormas atau Orpol pun dibekukan. Dari lampirkan intruksi tersebut ada beberapa yang tercatat yaitu 10 (sepuluh) judul buku karya 6 (enam) orang pengarang yang merupakan buku pelajaran dilarang, disamping itu ada 60 (enam puluh) buku karya 17 (tujuh belas) pengarang Lekra yang juga dilarang. Dalam lampiran yang lain ada 87 (delapan puluh tujuh) nama pengarang Lekra termasuk Pramoedya Ananta Toer, Utuy T. Sontani, Rivai Apin, S. Rukiah, Rijono Pratikto dan lain-lain.
Jasa dan pengaruh mereka dalam perkembangan sastra Indonesia, yang menimbulkan sekelumit polemik serta adanya pengaruh juga kepada perkembangan kejiwaan bangsa Indonesia, tidak bisa dinafikkan. Bahwa mereka kemudian menganut paham politik yang sekarang dilarang merupakan suatu akibat dari perkembangan dan pencarian mereka sebagai manusia berpikir yang hidup.[xviii]


DAFTAR PUSTAKA

Yudiono K.S. 2010. Pengantar Sejarah Sastra Indonesia. Jakarta : PT.Grasindo
Rosidi Ajib. 1969. Ichtisar Sedjarah Sastra Indonesia. Bandung: Ganaco
Scherer Savitri. 2012. Pramoedya Ananta Toer Luruh dalam Ideologi. Jakarta : Komunitas Bambu
Rosidi, Ajib .1988. Sejarah Sastra Indonesia. Jakarta: PT. Bina Aksara
Sumardjo Jakob. 1999. Konteks Sosial Novel Indonesia 1920-1977. Bandung : Alumni






[i] Yudiono K.S. Pengantar Sejarah Sastra Indonesia. Hal. 22-24
[ii] Ajib Rosidi. Ichtisar Sedjarah Sastra Indonesia. Hal. 179
[iii] Savitri Scherer. Pramoedya Ananta Toer Luruh Dalam Ideologi. Hal. 71
[iv] Ibid. hal 80
[v] Yudiono K.S. Pengantar Sejarah Sastra Indonesia. Hal. 128
[vi] Ajib Rosidi. Ichtisar Sedjarah Sastra Indonesia. Hal. 181
[vii] Jakob Sumardjo. Konteks Sosial Novel Indonesia 1920-1977. Hal.252-253
[viii] Yudiono K.S. Pengantar Sejarah Sastra Indonesia. Hal. 131
[ix] Ajib Rosidi. Ichtisar Sedjarah Sastra Indonesia. Hal. 182
[x]  Ajib Rosidi. Sejarah Sastra Indonesia. Hal. 25
[xi] Savitri Scherer. Pramoedya Ananta Toer Luruh Dalam Ideologi. Hal. 43
[xii] Ajib Rosidi. Sejarah Sastra Indonesia. Hal. 24
[xiii] Savitri Scherer. Pramoedya Ananta Toer Luruh Dalam Ideologi. Hal. XVI
[xiv] Ajib Rosidi. Ichtisar Sedjarah Sastra Indonesia. Hal. 185-186
[xv] Ibid Hal. 188-189
[xvi] Yudiono K.S. Pengantar Sejarah Sastra Indonesia. Hal. 133-134
[xvii] Ajib Rosidi. Ichtisar Sedjarah Sastra Indonesia. Hal.188-189
[xviii] Yudiono K.S. Pengantar Sejarah Sastra Indonesia. Hal. 147-148