RANGKAIAN POLEMIK LEKRA DALAM SEJARAH SASTRA
INDONESIA
Berbicara
mengenai Rangkaian Polemik Dunia Sastra pasti takkan lepas dari yang
namanya Sejarah Sastra. Sejarah Sastra merupakan
history tentang dunia kesusastraan yang memunculkan polemik serta melahirkan sastrawan
dan karyanya yang memang mempengaruhi dalam perkembangan pada kesusastraan Indonesia
dan didokumentasikan sebagai ilmu pengetahuan dalam bidang kesusastraan
Indonesia.[i] Dunia
Sastra bukan lagi sebagai ajang penyongsong sebuah nama dari sekumpulan karya
namun juga merupakan tanda dari perkembangan bangsa yang menjadi cerminan bangsa
pada saat itu yang dituangkan dalam sebuah rangkaian kata yang bernilai seni yang
didalamnya berupa suatu ekspresi dan kreasi estetis seorang sastrawan yang
memiliki nilai serta potensi didalam sebuah karyanya tersebut.
Sastra
dan politik dua bidang yang berbeda namun terkadang keduanya sangatlah
berkaitan erat dalam suatu pandangan mengenai pemikirannya terhadap ideologi.[ii] Pada
tahun 1955 Indonesia mengadakan pemilihan umum pertama, yang dimana memunculkan
beberapa partai politik yaitu PNI (Partai Nasional Indonesia), PKI (Partai Komunis
Indonesia), NU (Nahdatul Ulama , partai muslim tradisional), Masyumi (Madjelis
Sjuro Muslimin Indonesia, partai muslim modern) serta PSI (Partai Sosialis
Indonesia) namun partai politik elit PSI ini kurang adanya dukungan dari rakyat
sehingga keberadaan partai tersebut itu ditiadakan.[iii] Berbicara
Mengenai latar belakang politik dalam dunia sastra yaitu salah satunya adalah Lembaga
Kebudayaan Rakyat yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan LEKRA yang dibawah
naungan PKI (Partai Komunis Indonesia) pada masa 1950–an hingga pada awal
1960-an, peran keduanya dalam sejarah sastra indonesia perlu diketahui dimana pada
masa tersebut terjadi suatu kondisi dimana bangsa indonesia berperang terhadap
bangsanya sendiri, berperang terhadap negrinya sendiri, berperang terhadap
tanah airnya sendiri yang membuat bangsa indonesia diambang kehancuran, membuat
para seniman maupun sastrawan pada saat itu memiliki sebuah pandangan mengenai
politik. “politik” sangatlah berkesinambungan antara karya dan pemikiran yang
kritis akan sebuah Ideologi yang dituangkan kedalam sebuah karya sastra.[iv]
Diketahui pula bahwa
peranan PKI pun sangatlah berpengaruh dalam perkembangan Sejarah Indonesia, kebanyakan
bagi segelintir masyarakat indonesia pada
zaman reformasi dulu mereka memiliki pemikiran yang lebih cenderung mengutarakan
sikap kritis serta progresif mengenai konsep serta tindakan anggota politik
pemeritah dizaman Reformasi, entah mereka yang ingin berjuang demi bangsa atau
kita sebut sang pencetak sejarah, atau mereka yang mengutamakan egoisme
terhadap sebuah nama besar, tahta dan jabatan, atau mereka yang ingin menggoncang
negrinya sendiri yang menjadikannya negri lautan darah. bukanlah kata hanya saja
atau cuman namun inilah realitanya bahwa manusia dapat berbuat apa saja demi memperjuangkan
suatu Ideologi.
Lembaga
Kebudayaan Rakyat atau disingkat Lekra didirikan pada tanggal 17 Agustus 1950
pendirinya oleh tokoh-tokoh Partai Komunis Indonesia (PKI) yaitu D.N Aidit, Njoto,
M.S Ashar, dan A.S Dharta.[v] Yang pertama kali bertindak dan yang
menggerakkan Lekra adalah A.S Dharta sebagai Sekretaris Jendral pada saat itu. Lekra
resmi menjadi organisasi yang menjungjung tinggi nilai kebudayaan Rakyat.[vi]
Dalam Mukodimah Lekra yang berisikan Rakyat adalah satu-satunya pencipta
kebudayaan, dan bahwa pembangunan kebudayaan indonesia itu hanya dapat
dilakukan oleh rakyat saja. Revolusi Agustus 1945 membuktikan, bahwa pahlawan
di dalam peristiwa bersejarah ini,
seperti halnya didalam seluruh sejarah bangsa kita, tiada lain adalah Rakyat.
Lekra berkerja
khusus dilapangan kebudayaan, dan dimasa ini terutama dilapangan kesenian dan
ilmu. Lekra menghimpun tenaga dan kegiatan seniman-seniman, sarjana-sarjana, serta
pekerja-pekerja kebudayaan lainnya. Lekra mengajak pekerja-pekerja kebudayaan
yang bertujuan untuk mengabdikan daya-cipta, bakat serta keahlian mereka guna
kemajuan bangsa indonesia, kemerdekaan Indonesia, pembaharuan indonesia. Lekra
berpendapat, bahwa secara tegas berpihak kepada rakyat dan mengabdi kepada
rakyat adalah satu-satunya jalan bagi seniman-seniman, sarjana-sarjana, maupun
pekerja-pekerja kebudayaan lainnya untuk mencapai hasil yang tahan uji dan
tahan waktu. Lekra pula mengulurkan tangan kepada organisasi-organisasi kebudayaan
yang lain dari aliran atau keyakinan apapun itu, untuk berkerjasama dalam
pengabdian yang disalurkan hanya kepada Lekra.[vii]
Lekra merumuskan slogan-slogan sebagai penguat kesadaran politik dan sekaligus
menjadi pegangan taktis. Slogan “Politik adalah Panglima” diperkenalkan oleh
kalangan Lekra karena merupakan semboyan serta pegangan yang menjadikan
pengarang seni dari Lekra itu sendiri harus menjurus kedalam politik yang
menjadi obor yang menerbelakangi misi Lekra.[viii]
Konfik yang ditimbulkan
Lekra pada masa kejayaannya yang memang dalam konteks sebuah lingkup
kebudayaan, Lekra melakukan sesuatu metode yang salah satunya yaitu metode
komunisme yang sudah terkenal dimana-mana yaitu meneror orang-orang dan
golongan yang tidak sepaham atau tidak bisa diajak sepaham dengan mereka. Dalam
lingkup sastra satu demi satu pengarang yang mempunyai paham yang berbeda
dengan mereka, di hantam, dihujat dan dimusnahkan seperti tindakan Lekra
terhadap Tokoh Sastrawan S. Takdir Alisyahbana yang posisinya sebagai anggota
politik partai dan juga Hamka mereka menjadi sasarannya, Takdir yang kebetulan
itu sedang berada di Malaysia bersama Idrus dan Balfas, maka dimuncukanlah
rumor bahwa mereka dicap sebagai pengarang yang Kontra Revolusi, karena
Indonesia pada saat itu sedang mengumumkan Kontra Revolusi terhadap negara Malaysia.
Hamka pula di hantam dengan tuduhan plagiarisme terhadap karyanya yang berjudul
Tenggelamnya Kapal Van Der Wick, namun ketika saat itu Lekra belum sampai pada
tahap Agresif, maka persoalan itu seolah tidak ada.[ix]
Sebuah
kontroversi yang ditimbulkan oleh Lekra terhadap serangkaian polemik dunia
sastra takkan ada habisnya diperbincangkan apabila mengenai sejarah perjalanan
satra indonesia, begitu pula banyak sekali menimbulkan pertanyaan serta
pemahanan tertentu mengenai konflik yang ditimbulkan oleh Lekra seperti sangkut
pautnya terhadap Chairil Anwar dan Gelanggang. Mengapa Chairil Anwar begitu
banyak menarik minat orang? Apa peranannya dalam perkembangan dunia sastra
indonesia? Mengapa sebagian orang memujinya setinggi langit dan yang lain
memakinya sekeji-kejinya pula? Mengapa orang Lekra keras benar menghantam dan
hendak menyingkirkannya? Apa yang melatar belakangi Lekra menghantam
Gelanggang?. Begitulah polemik dan serba-serbi yang ditimbulkan Lekra.[x]
Seniman
Gelanggang Merdeka didirikan pada tahun 1947 dibawah pimpinan Chairil Anwar dan diikuti oleh Asrul Sani,
dan Rivai Apin dan para seniman lainnya yang terkait diantaranya ada pelukis
Henk Ngantung, dan penulis Pramoedya Ananta Toer serta penyair Sitor Situmorang.
Konflik yang timbul antara Gelanggang dan Lekra yaitu ada beberapa persoalanya
yang didalamnya ada suatu persaingan diantara keduanya seperti halnya pandangan
Gelanggang terhadap sastra dalam cakupan Lekra yang dinilai “kurang” dan
kemampuan dalam berbahasa asing pun minim di bandingkan para pengarang
Gelanggang, karena Lekra dikenal erat sebagai partai komunis bukan cakupan
dunia sastra yang sesungguhnya. sehingga Gelanggang mudah untuk mencemooh atas pendekatan
Lekra terhadap sastra dan seni sebagai propaganda politik semata. [xi]
Chairil anwar
adalah sastrawan indonesia yang paling banyak dibahas, dibicarakan,
dipersengketakan, dipuji dan dicaci. Pada saat-saat sebelum dekat penghianatan
Gestapu, ketika Lekra merajai sastra Indonesia dengan semboyan politik sebagai
panglima kesenian-kebudayaan-kesusastraannya, para petinggi Lekra banyak sekali
menaruh perhatian lebih dan membuang tenaga lebih untuk menyingkirkan Chairil Anwar
pada dunia sastra Indonesia. Chairil Anwar sendiri telah berbalas tahun
meniggalkan alam yang fana ini. Ia
meninggal hampir dua tahun sebelum Lekra didirikan.[xii]
Situasi yang
sulit kini mulai berimbas kepada pengarang sastra dari pegikut Gelanggang, kini
mulai runtuh ibaratnya seperti Tiada Chairil Anwar Tiada Gelanggang, nama
Gelanggang sendiri kini mulai redup. diketahui bahwa salah satu pengikut dan
pengarang Gelanggang Pramoedya Ananta
Toer ia kini dihadapi oleh situasi krisis dan puncak kesulitan dalam hidup.
Pada sewaktu ketika Pram didekati oleh A.S Dharta yang saat itu menjadi anggota
pendiri Lekra, Pram sendiri mengaku bahwa Dhartalah yang membuka matanya
terhadap kanyataan-kanyataan sosial dan akan pentingnya arti Rakyat dalam
Kesenian dan Kesusastraan. Pada wakrtu itu Dharta memintanya menterjemahkan Ibunda karya Maksim Gorki untuk penerbit
Lekra. Pesan menterjemahkan itu oleh Pram dianggap sebagai malaikat penolong
yang menyelamatkan rumah tangganya. bisa kita logikakan bahwa Pram sendiri
sudah mulai tertarik terhadap lembaga Lekra.[xiii]
Konflik yang
ditimbulkan Lekra bukan hanya dengan Gelanggang, Lekra pun juga pernah
berseteru dengan Manifes kebudayaan, dulu para budayawan, seniman dan para
pengarang hidup dalam suasana mental diteror oleh Lekra dari berdirinya Manifes
Kebudayaan ini yang membuat mereka terselamatkan, maka mereka berlomba-lomba
dalam mendukung Manifes Kebudayaan. Setelah itu Manifes Kebudayaan menjadi
sasaran utama oleh Lekra, julukan Lekra pada Manifes Kebudayaan yaitu
“Manikebu” dan dimuat disebuah Pers. Manifes pun takkan diam saja. Mereka
mempersiapkan sebuah konperensi para pengarang yang dinamakan konferensi
kariyawan pengarang seindonesia (KKPI) konferensi tersebut menghasilkan Persatuan
Kariyawan Pengarang Indonesia (PKPI) tetapi sebelum organisasi itu berjalan.
Soekarno yang pada saat itu menjabat sebagai
presiden menyatakan ‘Manifes Kebudayaan Terlarang’. Hal ini yang
menjadikan Lekra berjaya kembali atas kebinasaan eksistensi dari para
pesaingnya.[xiv]
Dibalik
berjayanya Lekra pada saat itu ada tokoh-tokoh yang memang sangat berpengaruh
yaitu Sitor Situmorang ia mengarang dari kumpulan sajaknya yang berjudul Zaman Baru di muat dalam majalah Lekra
yang bernama Zaman Baru di ketuai
oleh Rivai Apin. Lekra pula mempunyai surat kabar yang bernama Harian Rakyat yang dipimpin oleh Hr
Bandaharo juga merekapun menerbitkan Harian
Kebudayaan Baru yang di pimpin oleh S. Anantaguna yang menerbitkan
sajak-sajak, cerpen, essai serta karangan.
Sejumlah para
pengarang yang mengisi lembaran lembaran kebudayaan itu kian hari kian
bertambah. Ada nama-nama yang masuk dari daftar keanggotaan Lekra yaitu Rijono
Pratikto, S. Rukiah, Kuslan Budikman, S. Wisnu Kuntjahjo, Sobron Aidit, Utuy T.
Sontani, Dodong Djiwapradja, Pramoedya Anata Toer dan lain lain. Diantra
penulis Lekra yang memang kemunculan dalam Lekra dan selalu dalam lingkup Lekra
yaitu A.S Dharta dan kawan kawannya yang beridentitas sebagai anggota PKI.[xv]
Tercatat ada
beberapa nama tokoh dari anggota Lekra yang memang menghasilkan sebuah karya
sastra diantaranya : (1.) Agam Wispi puisinya yang berjudul Sahabat (1959) dan Matinya Seorang Sahabat (1962) (2.) Sobron Aidit menghasilkan kumpulan sajak yang berjudul Pulang Bertempur (1959) (3.) S. Rukiah
karyanya yang menghasilkan kumpulan sajak
yang berjudul Tandus (1952),
dan novelnya Jatuh Hati (1950) (4.)
Dodong Djiapradja, sajaknya yang berjudul Gema
Tanah Air (1948), Laut Biru Muda
(1977) , dan Tonggak (1987). (4.)
Riyono Pratikto karyanya yaitu kumpulan cerpen yang berjudul Api dan Beberapa cerita Pendek Lain (1958).[xvi]
Sedemikian rupa
yang ditimbulkan oleh Lekra keadan menjadi berbalik karena seluruh kekuatan
komunis berantakan dan munculah kekuatan baru dibawah pimpian Letnan Jandral
Soeharto yang kemudian diangakat menjadi Presiden pada tahun 1967. perubahan
drastis terjadi, pelarangan PKI pun menjadi jadi, sekelumit yang timbul
menjadikan Lekra harus menerima kenyataan pahit bahwa mereka sebagai
orang-orang tercala yang diangap berhianat terhadap bangsa dan negara, tidak
lama kemudian buku-buku mereka pun dinyatakan terlarang. Tragedi September pun
menjadi akhir maraknya slogan “politik adalah sebagai panglima “ dan realisme
sosialis telah ditiadakan.[xvii]
Intruksi Mentri
Pendidikan Dasar dan Kebudayaan Republik Indonesia no.1381/1965 tentang
larangan mempergunakan buku-buku pelajaran, perpustakaan dan kebudayaan yang
dikarang oleh oknum-oknum dan anggota-anggota Ormas atau Orpol pun dibekukan.
Dari lampirkan intruksi tersebut ada beberapa yang tercatat yaitu 10 (sepuluh)
judul buku karya 6 (enam) orang pengarang yang merupakan buku pelajaran dilarang,
disamping itu ada 60 (enam puluh) buku karya 17 (tujuh belas) pengarang Lekra
yang juga dilarang. Dalam lampiran yang lain ada 87 (delapan puluh tujuh) nama
pengarang Lekra termasuk Pramoedya Ananta Toer, Utuy T. Sontani, Rivai Apin, S.
Rukiah, Rijono Pratikto dan lain-lain.
Jasa dan
pengaruh mereka dalam perkembangan sastra Indonesia, yang menimbulkan sekelumit
polemik serta adanya pengaruh juga kepada perkembangan kejiwaan bangsa
Indonesia, tidak bisa dinafikkan. Bahwa mereka kemudian menganut paham politik
yang sekarang dilarang merupakan suatu akibat dari perkembangan dan pencarian
mereka sebagai manusia berpikir yang hidup.[xviii]
DAFTAR
PUSTAKA
Yudiono
K.S. 2010. Pengantar
Sejarah Sastra Indonesia. Jakarta : PT.Grasindo
Rosidi Ajib. 1969. Ichtisar
Sedjarah Sastra Indonesia. Bandung: Ganaco
Scherer
Savitri. 2012. Pramoedya Ananta Toer Luruh dalam Ideologi. Jakarta :
Komunitas Bambu
Rosidi,
Ajib .1988. Sejarah Sastra Indonesia. Jakarta: PT. Bina Aksara
Sumardjo Jakob. 1999. Konteks
Sosial Novel Indonesia 1920-1977. Bandung : Alumni
[i] Yudiono K.S. Pengantar Sejarah
Sastra Indonesia. Hal. 22-24
[ii] Ajib Rosidi. Ichtisar Sedjarah
Sastra Indonesia. Hal. 179
[iii] Savitri Scherer. Pramoedya
Ananta Toer Luruh Dalam Ideologi. Hal. 71
[iv] Ibid. hal 80
[v] Yudiono K.S. Pengantar Sejarah Sastra
Indonesia. Hal. 128
[vi] Ajib Rosidi. Ichtisar Sedjarah
Sastra Indonesia. Hal. 181
[vii] Jakob Sumardjo. Konteks Sosial
Novel Indonesia 1920-1977.
Hal.252-253
[viii] Yudiono K.S. Pengantar Sejarah
Sastra Indonesia. Hal. 131
[ix] Ajib Rosidi. Ichtisar Sedjarah Sastra
Indonesia. Hal. 182
[x] Ajib Rosidi. Sejarah Sastra Indonesia. Hal. 25
[xi] Savitri Scherer. Pramoedya
Ananta Toer Luruh Dalam Ideologi. Hal. 43
[xii] Ajib Rosidi. Sejarah Sastra
Indonesia. Hal. 24
[xiii] Savitri Scherer. Pramoedya
Ananta Toer Luruh Dalam Ideologi. Hal. XVI
[xiv] Ajib Rosidi. Ichtisar Sedjarah
Sastra Indonesia. Hal. 185-186
[xvi] Yudiono K.S. Pengantar Sejarah
Sastra Indonesia. Hal. 133-134
[xvii] Ajib Rosidi. Ichtisar Sedjarah
Sastra Indonesia. Hal.188-189
[xviii] Yudiono K.S. Pengantar Sejarah
Sastra Indonesia. Hal. 147-148
Tidak ada komentar:
Posting Komentar