Jumat, 24 Juni 2016

SEJARAH SASTRA INDONESIA



RANGKAIAN POLEMIK LEKRA DALAM SEJARAH SASTRA INDONESIA

Berbicara mengenai Rangkaian Polemik Dunia Sastra pasti takkan lepas dari yang namanya  Sejarah Sastra. Sejarah Sastra merupakan history tentang dunia kesusastraan yang memunculkan polemik serta melahirkan sastrawan dan karyanya yang memang mempengaruhi dalam perkembangan pada kesusastraan Indonesia dan didokumentasikan sebagai ilmu pengetahuan dalam bidang kesusastraan Indonesia.[i] Dunia Sastra bukan lagi sebagai ajang penyongsong sebuah nama dari sekumpulan karya namun juga merupakan tanda dari perkembangan bangsa yang menjadi cerminan bangsa pada saat itu yang dituangkan dalam sebuah rangkaian kata yang bernilai seni yang didalamnya berupa suatu ekspresi dan kreasi estetis seorang sastrawan yang memiliki nilai serta potensi didalam sebuah karyanya tersebut.
            Sastra dan politik dua bidang yang berbeda namun terkadang keduanya sangatlah berkaitan erat dalam suatu pandangan mengenai pemikirannya terhadap ideologi.[ii] Pada tahun 1955 Indonesia mengadakan pemilihan umum pertama, yang dimana memunculkan beberapa partai politik yaitu PNI (Partai Nasional Indonesia), PKI (Partai Komunis Indonesia), NU (Nahdatul Ulama , partai muslim tradisional), Masyumi (Madjelis Sjuro Muslimin Indonesia, partai muslim modern) serta PSI (Partai Sosialis Indonesia) namun partai politik elit PSI ini kurang adanya dukungan dari rakyat sehingga keberadaan partai tersebut itu ditiadakan.[iii] Berbicara Mengenai latar belakang politik dalam dunia sastra yaitu salah satunya adalah Lembaga Kebudayaan Rakyat yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan LEKRA yang dibawah naungan PKI (Partai Komunis Indonesia) pada masa 1950–an hingga pada awal 1960-an, peran keduanya dalam sejarah sastra indonesia perlu diketahui dimana pada masa tersebut terjadi suatu kondisi dimana bangsa indonesia berperang terhadap bangsanya sendiri, berperang terhadap negrinya sendiri, berperang terhadap tanah airnya sendiri yang membuat bangsa indonesia diambang kehancuran, membuat para seniman maupun sastrawan pada saat itu memiliki sebuah pandangan mengenai politik. “politik” sangatlah berkesinambungan antara karya dan pemikiran yang kritis akan sebuah Ideologi yang dituangkan kedalam sebuah karya sastra.[iv]
Diketahui pula bahwa peranan PKI pun sangatlah berpengaruh dalam perkembangan Sejarah Indonesia, kebanyakan bagi  segelintir masyarakat indonesia pada zaman reformasi dulu mereka memiliki pemikiran yang lebih cenderung mengutarakan sikap kritis serta progresif mengenai konsep serta tindakan anggota politik pemeritah dizaman Reformasi, entah mereka yang ingin berjuang demi bangsa atau kita sebut sang pencetak sejarah, atau mereka yang mengutamakan egoisme terhadap sebuah nama besar, tahta dan  jabatan, atau mereka yang ingin menggoncang negrinya sendiri yang menjadikannya negri lautan darah. bukanlah kata hanya saja atau cuman namun inilah realitanya bahwa manusia dapat berbuat apa saja demi memperjuangkan suatu Ideologi.
Lembaga Kebudayaan Rakyat atau disingkat Lekra didirikan pada tanggal 17 Agustus 1950 pendirinya oleh tokoh-tokoh Partai Komunis Indonesia (PKI) yaitu D.N Aidit, Njoto, M.S Ashar, dan A.S Dharta.[v]  Yang pertama kali bertindak dan yang menggerakkan Lekra adalah A.S Dharta sebagai Sekretaris Jendral pada saat itu. Lekra resmi menjadi organisasi yang menjungjung tinggi nilai kebudayaan Rakyat.[vi] Dalam Mukodimah Lekra yang berisikan Rakyat adalah satu-satunya pencipta kebudayaan, dan bahwa pembangunan kebudayaan indonesia itu hanya dapat dilakukan oleh rakyat saja. Revolusi Agustus 1945 membuktikan, bahwa pahlawan di dalam peristiwa  bersejarah ini, seperti halnya didalam seluruh sejarah bangsa kita, tiada lain adalah Rakyat.
Lekra berkerja khusus dilapangan kebudayaan, dan dimasa ini terutama dilapangan kesenian dan ilmu. Lekra menghimpun tenaga dan kegiatan seniman-seniman, sarjana-sarjana, serta pekerja-pekerja kebudayaan lainnya. Lekra mengajak pekerja-pekerja kebudayaan yang bertujuan untuk mengabdikan daya-cipta, bakat serta keahlian mereka guna kemajuan bangsa indonesia, kemerdekaan Indonesia, pembaharuan indonesia. Lekra berpendapat, bahwa secara tegas berpihak kepada rakyat dan mengabdi kepada rakyat adalah satu-satunya jalan bagi seniman-seniman, sarjana-sarjana, maupun pekerja-pekerja kebudayaan lainnya untuk mencapai hasil yang tahan uji dan tahan waktu. Lekra pula mengulurkan tangan kepada organisasi-organisasi kebudayaan yang lain dari aliran atau keyakinan apapun itu, untuk berkerjasama dalam pengabdian yang disalurkan hanya kepada Lekra.[vii] Lekra merumuskan slogan-slogan sebagai penguat kesadaran politik dan sekaligus menjadi pegangan taktis. Slogan “Politik adalah Panglima” diperkenalkan oleh kalangan Lekra karena merupakan semboyan serta pegangan yang menjadikan pengarang seni dari Lekra itu sendiri harus menjurus kedalam politik yang menjadi obor yang menerbelakangi misi Lekra.[viii]
Konfik yang ditimbulkan Lekra pada masa kejayaannya yang memang dalam konteks sebuah lingkup kebudayaan, Lekra melakukan sesuatu metode yang salah satunya yaitu metode komunisme yang sudah terkenal dimana-mana yaitu meneror orang-orang dan golongan yang tidak sepaham atau tidak bisa diajak sepaham dengan mereka. Dalam lingkup sastra satu demi satu pengarang yang mempunyai paham yang berbeda dengan mereka, di hantam, dihujat dan dimusnahkan seperti tindakan Lekra terhadap Tokoh Sastrawan S. Takdir Alisyahbana yang posisinya sebagai anggota politik partai dan juga Hamka mereka menjadi sasarannya, Takdir yang kebetulan itu sedang berada di Malaysia bersama Idrus dan Balfas, maka dimuncukanlah rumor bahwa mereka dicap sebagai pengarang yang Kontra Revolusi, karena Indonesia pada saat itu sedang mengumumkan Kontra Revolusi terhadap negara Malaysia. Hamka pula di hantam dengan tuduhan plagiarisme terhadap karyanya yang berjudul Tenggelamnya Kapal Van Der Wick, namun ketika saat itu Lekra belum sampai pada tahap Agresif, maka persoalan itu seolah tidak ada.[ix]
Sebuah kontroversi yang ditimbulkan oleh Lekra terhadap serangkaian polemik dunia sastra takkan ada habisnya diperbincangkan apabila mengenai sejarah perjalanan satra indonesia, begitu pula banyak sekali menimbulkan pertanyaan serta pemahanan tertentu mengenai konflik yang ditimbulkan oleh Lekra seperti sangkut pautnya terhadap Chairil Anwar dan Gelanggang. Mengapa Chairil Anwar begitu banyak menarik minat orang? Apa peranannya dalam perkembangan dunia sastra indonesia? Mengapa sebagian orang memujinya setinggi langit dan yang lain memakinya sekeji-kejinya pula? Mengapa orang Lekra keras benar menghantam dan hendak menyingkirkannya? Apa yang melatar belakangi Lekra menghantam Gelanggang?. Begitulah polemik dan serba-serbi yang ditimbulkan Lekra.[x]
Seniman Gelanggang Merdeka didirikan pada tahun 1947 dibawah pimpinan  Chairil Anwar dan diikuti oleh Asrul Sani, dan Rivai Apin dan para seniman lainnya yang terkait diantaranya ada pelukis Henk Ngantung, dan penulis Pramoedya Ananta Toer serta penyair Sitor Situmorang. Konflik yang timbul antara Gelanggang dan Lekra yaitu ada beberapa persoalanya yang didalamnya ada suatu persaingan diantara keduanya seperti halnya pandangan Gelanggang terhadap sastra dalam cakupan Lekra yang dinilai “kurang” dan kemampuan dalam berbahasa asing pun minim di bandingkan para pengarang Gelanggang, karena Lekra dikenal erat sebagai partai komunis bukan cakupan dunia sastra yang sesungguhnya. sehingga Gelanggang mudah untuk mencemooh atas pendekatan Lekra terhadap sastra dan seni sebagai propaganda politik semata. [xi]
Chairil anwar adalah sastrawan indonesia yang paling banyak dibahas, dibicarakan, dipersengketakan, dipuji dan dicaci. Pada saat-saat sebelum dekat penghianatan Gestapu, ketika Lekra merajai sastra Indonesia dengan semboyan politik sebagai panglima kesenian-kebudayaan-kesusastraannya, para petinggi Lekra banyak sekali menaruh perhatian lebih dan membuang tenaga lebih untuk menyingkirkan Chairil Anwar pada dunia sastra Indonesia. Chairil Anwar sendiri telah berbalas tahun meniggalkan alam yang  fana ini. Ia meninggal hampir dua tahun sebelum Lekra didirikan.[xii]
Situasi yang sulit kini mulai berimbas kepada pengarang sastra dari pegikut Gelanggang, kini mulai runtuh ibaratnya seperti Tiada Chairil Anwar Tiada Gelanggang, nama Gelanggang sendiri kini mulai redup.  diketahui bahwa salah satu pengikut dan pengarang  Gelanggang Pramoedya Ananta Toer ia kini dihadapi oleh situasi krisis dan puncak kesulitan dalam hidup. Pada sewaktu ketika Pram didekati oleh A.S Dharta yang saat itu menjadi anggota pendiri Lekra, Pram sendiri mengaku bahwa Dhartalah yang membuka matanya terhadap kanyataan-kanyataan sosial dan akan pentingnya arti Rakyat dalam Kesenian dan Kesusastraan. Pada wakrtu itu Dharta memintanya menterjemahkan Ibunda karya Maksim Gorki untuk penerbit Lekra. Pesan menterjemahkan itu oleh Pram dianggap sebagai malaikat penolong yang menyelamatkan rumah tangganya. bisa kita logikakan bahwa Pram sendiri sudah mulai tertarik terhadap lembaga Lekra.[xiii]
Konflik yang ditimbulkan Lekra bukan hanya dengan Gelanggang, Lekra pun juga pernah berseteru dengan Manifes kebudayaan, dulu para budayawan, seniman dan para pengarang hidup dalam suasana mental diteror oleh Lekra dari berdirinya Manifes Kebudayaan ini yang membuat mereka terselamatkan, maka mereka berlomba-lomba dalam mendukung Manifes Kebudayaan. Setelah itu Manifes Kebudayaan menjadi sasaran utama oleh Lekra, julukan Lekra pada Manifes Kebudayaan yaitu “Manikebu” dan dimuat disebuah Pers. Manifes pun takkan diam saja. Mereka mempersiapkan sebuah konperensi para pengarang yang dinamakan konferensi kariyawan pengarang seindonesia (KKPI) konferensi tersebut menghasilkan Persatuan Kariyawan Pengarang Indonesia (PKPI) tetapi sebelum organisasi itu berjalan. Soekarno yang pada saat itu menjabat sebagai  presiden menyatakan ‘Manifes Kebudayaan Terlarang’. Hal ini yang menjadikan Lekra berjaya kembali atas kebinasaan eksistensi dari para pesaingnya.[xiv]
Dibalik berjayanya Lekra pada saat itu ada tokoh-tokoh yang memang sangat berpengaruh yaitu Sitor Situmorang ia mengarang dari kumpulan sajaknya yang berjudul Zaman Baru di muat dalam majalah Lekra yang bernama Zaman Baru di ketuai oleh Rivai Apin. Lekra pula mempunyai surat kabar yang bernama Harian Rakyat yang dipimpin oleh Hr Bandaharo juga merekapun menerbitkan Harian Kebudayaan Baru yang di pimpin oleh S. Anantaguna yang menerbitkan sajak-sajak, cerpen, essai serta karangan.
Sejumlah para pengarang yang mengisi lembaran lembaran kebudayaan itu kian hari kian bertambah. Ada nama-nama yang masuk dari daftar keanggotaan Lekra yaitu Rijono Pratikto, S. Rukiah, Kuslan Budikman, S. Wisnu Kuntjahjo, Sobron Aidit, Utuy T. Sontani, Dodong Djiwapradja, Pramoedya Anata Toer dan lain lain. Diantra penulis Lekra yang memang kemunculan dalam Lekra dan selalu dalam lingkup Lekra yaitu A.S Dharta dan kawan kawannya yang beridentitas sebagai anggota PKI.[xv]
Tercatat ada beberapa nama tokoh dari anggota Lekra yang memang menghasilkan sebuah karya sastra diantaranya : (1.) Agam Wispi puisinya yang berjudul Sahabat (1959) dan Matinya Seorang Sahabat (1962) (2.) Sobron Aidit  menghasilkan kumpulan sajak yang berjudul Pulang Bertempur (1959) (3.) S. Rukiah karyanya yang menghasilkan kumpulan sajak  yang berjudul Tandus (1952), dan novelnya Jatuh Hati (1950) (4.) Dodong Djiapradja, sajaknya yang berjudul Gema Tanah Air (1948), Laut Biru Muda (1977) , dan Tonggak (1987). (4.) Riyono Pratikto karyanya yaitu kumpulan cerpen yang berjudul Api dan Beberapa cerita Pendek Lain (1958).[xvi]
Sedemikian rupa yang ditimbulkan oleh Lekra keadan menjadi berbalik karena seluruh kekuatan komunis berantakan dan munculah kekuatan baru dibawah pimpian Letnan Jandral Soeharto yang kemudian diangakat menjadi Presiden pada tahun 1967. perubahan drastis terjadi, pelarangan PKI pun menjadi jadi, sekelumit yang timbul menjadikan Lekra harus menerima kenyataan pahit bahwa mereka sebagai orang-orang tercala yang diangap berhianat terhadap bangsa dan negara, tidak lama kemudian buku-buku mereka pun dinyatakan terlarang. Tragedi September pun menjadi akhir maraknya slogan “politik adalah sebagai panglima “ dan realisme sosialis telah ditiadakan.[xvii]
Intruksi Mentri Pendidikan Dasar dan Kebudayaan Republik Indonesia no.1381/1965 tentang larangan mempergunakan buku-buku pelajaran, perpustakaan dan kebudayaan yang dikarang oleh oknum-oknum dan anggota-anggota Ormas atau Orpol pun dibekukan. Dari lampirkan intruksi tersebut ada beberapa yang tercatat yaitu 10 (sepuluh) judul buku karya 6 (enam) orang pengarang yang merupakan buku pelajaran dilarang, disamping itu ada 60 (enam puluh) buku karya 17 (tujuh belas) pengarang Lekra yang juga dilarang. Dalam lampiran yang lain ada 87 (delapan puluh tujuh) nama pengarang Lekra termasuk Pramoedya Ananta Toer, Utuy T. Sontani, Rivai Apin, S. Rukiah, Rijono Pratikto dan lain-lain.
Jasa dan pengaruh mereka dalam perkembangan sastra Indonesia, yang menimbulkan sekelumit polemik serta adanya pengaruh juga kepada perkembangan kejiwaan bangsa Indonesia, tidak bisa dinafikkan. Bahwa mereka kemudian menganut paham politik yang sekarang dilarang merupakan suatu akibat dari perkembangan dan pencarian mereka sebagai manusia berpikir yang hidup.[xviii]


DAFTAR PUSTAKA

Yudiono K.S. 2010. Pengantar Sejarah Sastra Indonesia. Jakarta : PT.Grasindo
Rosidi Ajib. 1969. Ichtisar Sedjarah Sastra Indonesia. Bandung: Ganaco
Scherer Savitri. 2012. Pramoedya Ananta Toer Luruh dalam Ideologi. Jakarta : Komunitas Bambu
Rosidi, Ajib .1988. Sejarah Sastra Indonesia. Jakarta: PT. Bina Aksara
Sumardjo Jakob. 1999. Konteks Sosial Novel Indonesia 1920-1977. Bandung : Alumni






[i] Yudiono K.S. Pengantar Sejarah Sastra Indonesia. Hal. 22-24
[ii] Ajib Rosidi. Ichtisar Sedjarah Sastra Indonesia. Hal. 179
[iii] Savitri Scherer. Pramoedya Ananta Toer Luruh Dalam Ideologi. Hal. 71
[iv] Ibid. hal 80
[v] Yudiono K.S. Pengantar Sejarah Sastra Indonesia. Hal. 128
[vi] Ajib Rosidi. Ichtisar Sedjarah Sastra Indonesia. Hal. 181
[vii] Jakob Sumardjo. Konteks Sosial Novel Indonesia 1920-1977. Hal.252-253
[viii] Yudiono K.S. Pengantar Sejarah Sastra Indonesia. Hal. 131
[ix] Ajib Rosidi. Ichtisar Sedjarah Sastra Indonesia. Hal. 182
[x]  Ajib Rosidi. Sejarah Sastra Indonesia. Hal. 25
[xi] Savitri Scherer. Pramoedya Ananta Toer Luruh Dalam Ideologi. Hal. 43
[xii] Ajib Rosidi. Sejarah Sastra Indonesia. Hal. 24
[xiii] Savitri Scherer. Pramoedya Ananta Toer Luruh Dalam Ideologi. Hal. XVI
[xiv] Ajib Rosidi. Ichtisar Sedjarah Sastra Indonesia. Hal. 185-186
[xv] Ibid Hal. 188-189
[xvi] Yudiono K.S. Pengantar Sejarah Sastra Indonesia. Hal. 133-134
[xvii] Ajib Rosidi. Ichtisar Sedjarah Sastra Indonesia. Hal.188-189
[xviii] Yudiono K.S. Pengantar Sejarah Sastra Indonesia. Hal. 147-148

Tidak ada komentar:

Posting Komentar