Rabu, 29 Juni 2016

KAJIAN PUISI



 Amir Hamzah Sebagai Kontribusi Sastra Melayu yang Religius Tertuang dalam Sajaknya yang Berjudul “Do’a”

            Amir Hamzah dilahirkan tanggal 28 Februari 1911 dari kalangan bangsawan di Tanjungpura, Lakat, Sumatera Utara. Meninggal pada tanggal 20 Maret 1946 sebagai korban dari revolusi sosial yang bergejolak hebat didaerahnya. Maka ungkapan yang mengatakan bahwa ”revolusi memangsa anaknya sendiri” sangatlah tepat jika dikenakan pada Amir Hamzah, penyair Pujangga Baru terbesar yang paling berpengaruh, yang kedalaman serta keindahan sajak-sajaknya tak bisa terhapuskan dari sejarah kesusastraan Indonesia.[1]
            Abrar Yusra dalam pengantar buku Amir Hamzah Penyair dan Manusia yang di editornya, menulis sebagi berikut:
Meminjam istilah T.S Elliot-melibatkan diri kita, setidaknya kesadaran kita, tentang berapa gemuruh dan tidak matian-matiannya Amir Hamzah sebagai penyair. Boleh jadi karena suaranya yang murni, yang seolah keluar langsung dari hati kecilnya, sehingga ahli-ahli dan penganut kebenaran fiqih tidaklah memprotesnya ketika ia melukiskan Tuhan sebagai: Engkau cemburu/Engkau ganas/Mangsa aku dalam cakarMu/Bertukar tangkap dengan lepas.[2] Dalam puisi Amir Hamzah kali ini akan membahas mengenai puisinya yang berjudul “Doa”.
Latar belakang sosok Amir Hamzah ini sangat berpengaruh dalam karya-karyanya. Kritikus sastra kita, H.B Jassin, menyebut penyair yang dikenal berhati lembut ini sebagai raja penyair Pujangga baru, dan ia menggunakan sebutan tersebut untuk judul buku yang terkenal mengenai Amir Hamzah. Bagi kritikus sastra ini, Amir Hamzah merupakan penyair besar dan religius yang berhasil meletakkan tradisi kesusatraan Indonesia modern. Kemurnian nada dan gaya kepenyairannya yang tak dapat ditiru orang, juga kerinduannya kepada Tuhan, niscanya telah menempatkan kepenyairannya melampaui batas-batas angkatan serta lingkungan geografis sosial.[3]
            Studi tentang kepenyairan Amir Hamzah yang dilakukan Salleh Yaafar dari Malaysia menempatkan penyair sastun ini sebagai penyair religius yang matang, yang sajak-sajaknya mempunyai pengaruh kuat serta menjadi sumber inspirasi bagi para penyair yang datang sesudahnya, termasuk Chairil Anwar salah satunya.
            Ajib Rosidi berpandangan bahwa diantara penyair sebelum perang, Amir Hamzah adalah penyair yang paling halus, paling mesra dan paling mengkhususkan diri sebagi penyair. Meski ia pun ada juga menulis sejumlah prosa, diantaranya berupa studi tentang kesusastraan Melayu lama, namun kehadiran Amir Hamzah dalam dunia kesusastraan Indonesia, terutama ditandai oleh dua kumpulan sajaknya yang terkenal, yakni Buah Rindu (1941) dan Nyaian Sunyi (1937)[4]
             Amir Hamzah dalam membangun puisi Indonesia modern, yang pada kenyatannya sekarang bahasa Indonesia sendiri banyak diperkaya oleh kosa kata maupun idiom yang berasal dari bahasa-bahasa daerah. Pada titik ini sumbangan Amir hamzah dan Chairil Anwar dalam memperkaya bahasa Indonesia, khususnya dalam persajakan, sama penting dan berharganya. Amir membuat Chairil membuat bahasa Indonesia menjadi komunikatif dan ekspresif.[5]
            Abdul Hadi W.M yang merupakan pakar sufistik dalam essainya “Amir Hamzah dan Relevansi Sastra Melayu“, mengajak kita untuk menengok sejenak kesusastraan Melayu Klasik sebagi salah satu cara untuk memahami sajak-sajak Amir Hamzah, Menurut Abdul Hadi, membaca sajak-sajaknya secara mendalam dan kemudian membandingkannya dengan puisi-puisi terbaik Melayu Klasik, akan tampak bahwa dibelakang kepenyairanya membentang suatu khazanah sastra dengan gagasannya yang mungkin berbeda jika dibanding gagasan mobernisme Sultan Takdir Alisjahbana dan Chairil Anwar. Perbedaan tersebut terutama tercermin pada gambaran duai serta wawasan estetik yang mendasari sistem sastra masing-masing. Hal ini tidak semata-mata disebabkan perbedaan-perbedaan pengalaman maupun latar belakang sosial, melaikan disebabkan oleh pandangan terhadap agama dan kebudayaan.[6]
            Jika mengamati penyair-penyair Melayu Klasik, maka kita akan menemukan sisi perbedaannya dengan Pujangga-pujangga Jawa Kuno, terutama dalam menemparkan dalam menempatkan diri pada lingkungan sosial. Pujangga-pujangga Jawa memilki kekuatan spiritual berkat tapa bratanya, sehingga mereka di sanjung dan disegani masyarakatnya serta mendapatkan pujian dari kaum bangsawan bahkan raja-raja. Sebaliknya, penyair-penyair Melayu Klasik memandang diri merek sebagai fakir, pedagang ataui anak hulubalang. Sering juga mereka meyebut dirinya tabib, salik, atau asyik yang maknanya kurang lebih sebagi penempuh jalan rohani. Seorang fakir selalu memerlukan kehadian  Tuhan karena pada dasarmnya manusia tidak memiliki apa-apa.
            Begitu juga denga Amir Hamzah, dalam banyak sajak ia sering menyebutkan dirinya musafir lata yang maknanya tak jauh berbada dengan fakir, orang yang selalu merindukan kehadiran Tuhan. Sajak-sajak Amir Hamzah termasuk karya-karya terjemahannya yang dikumpulkan dalam Setanggi Timur merupakan dokumen pencarian serta perjalanan kerohaniannya menuju Yang Satu seperti dalam puisinya yang berjudul “Doa” pada bait terakhir tertulis :
Aduh, Kekasihku, isi hatiku dengan katamu, penuhi dadaku dengan cahayamu, biar bersinar mataku sendu biar berbinar gelakku rayu![7]
            Jejak yang digoreskan Amir Hamzah nampak semakin memanjang ketika pada awal 1980-an Abdul Haadi W.M dan kawan-kawan menyerukan untuk kembali ke akar, kembali ke sumber. Ratusan essai yang merupakan hasil studinya tentang sastra profetik dan sufistik dari khasanah kesusastraan Timur, termasuk Melayu klasik dan Jawa kuno, kemudian menandai hadirnya gerakkan sastra religius ditanah air. Lewat rubik budaya di harian Berita Budaya, Pelita dan Ulumul Qur’an banyak penyair yang berkecenderungan sufistik muncul ke permukaan. Nama-nama seperti Hamid Jabbar, A Mustofa Bisri, D. Zawawi Imroh, Emha ainun Nadjib dan Ajamuddin Tifani, Ahmadun Yosi Herfanda, Ahmad Nurulloh dan Jamal D. Rahman ikut menegaskan adanya gerakan sastra religius ini. Dan jika diteliti dengan seksama, kita akan segera menemukan benang merah yang menghubungkan kepenyairan mereka dengan jejak yang ditinggalkan Amir Hamzah. Dan nampaknya jejak tersebut akan terus memanjang dan semakin memanjang.[8]
Analisis yang digunakan dalam puisi “Doa” ini yaitu menggunakan pendekatan objektif yang menganalisis karya sastra secara unsur-unsur Intrinsiknya, yang mencakup beberapa aspek di dalamnya, seperti : Tema, Pembicara, Diksi, Repetisi, Aliterasi, Majas, dan Imaji. Berikut analisis Puisi Amir Hamzah yang berjudul “Doa”.
DOA
Dengan apakah kubandingkan pertemuan kita, Kekasihku?
Dengan senja samar sepoi, pada masa purnama meningkatkan naik, setelah menghalaukan panas payah terik.
Angin malam mengembus lemah, menyejuk badai, melambung rasa, menanyang pikir, membawa angan ke bawah kursimu.
Hatiku terang menerima katamu, bagai  binatang memangsa lilinya.
Kalbuku terbuka menunggu kekasihmu, bagai sedap malam meyirak kelopak.
Aduh, Kekahku, isi hatiku dengan katamu, penuh dadaku dengan cahayamu, biar berbinar mataku sendu, biar berbinar gelakku rayu!

1.    Tema
Tema dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia tema berarti pokok pikiran dasar cerita yang dipakai sebagai dasar mengarang atau pun menggubah sajak. Puisi Amir Hamzah ini bertemakan tentang keagamaan segi religius seorang Amir Hamzah yaitu seorang hamba yang dekat akan Tuhannya sampai-sampai ia menganggap Tuhannya itu adalah sebagai kekasihnya, kedekatannya kepada Tuhan sangat tergambar jelas dari bait awal.
2.    Pembicara
Pembicara pada sebuah teks puisi kita namakan si aku, si aku lirik atau subjek lirik karena teks puisi biasanya bersifat monolog, maka pembicaranya mempunyai tempat utama. Semua kata didalam teks langsung bersumber pada si aku dan sering kali juga langsung berhubungan denganya. Dalam banyak sajak pembicara bukan saja pihak yang mengatakan semuanya tetapi juga tokoh pusatnya, yaitu menjadi pokok pembicaraan. Bahwa pembicara dalam sajak bertutur tentang dirinya sendiri menjadi jelas bila kita jumpai kata-kata seperti “aku”,”ku”,”daku”,”beta”,”ku”, atau “hamba”.[9] Dalam puisi “Doa” karya Amir Hamzah ini terbukti dari penjelasan diatas bahwa pembicara dalam puisi tersebut adalah penyair itu sendiri, karena terdapat “ku” pada bait pertama. berikut lariknya “Dengan apakah kubandingkan pertemuan kita, Kekasihku?”
3.        Diksi
Diksi adalah pemilihan kata dalam sajak. Dalam mengekspresikan persamaan dan isi pikirannya, seorang penyair menggunakan kata-kata yang tepat untuk mendapatkan nilai yang indah atau estetik[10]. Dalam puisi “Doa” ini penyair menggunakan bahasa-bahasa yang sarat akan makna, kata-kata yang estetik melekat pada puisi tersebut, penggunaan bahasa Indonesia yang baik memang tercermin dari sosok Amir Hamzah tertuang dalam sajak-sajaknya yang indah.
4.    Repetisi
Repetisi adalah perulangan bunyi, suku kata atau bagian kalimat yang dianggap penting untuk memberi tekanan dalam sebuah konteks yang sesuai.
Dalam puisi “Doa” terdapat Repetisi Anadiplosis yaitu kata atau frase terakhir dari suatu klausa atau kalimat menjadi kata atau frasa pertama dari klausa atau kalimat [11]. Seperti dalam kutipan puisi “Doa” berikut ini.
Dengan apakah kubandingkan pertemuan kita, Kekasihku?
Dengan senja samar sepoi, pada masa purnama meningkatkan naik, setelah menghalaukan panas payah terik.
5.    Aliterasi
Aliterasi adalah semacam gaya bahasa yang wujud perulangan konsonan yang sama[12]. Seperti dalam kutipan puisi “Doa” berikut ini.
Angin malam mengembus lemah, menyejuk badai, melambung rasa, menanyang pikir, membawa angan ke bawah kursimu.
6.    Majas
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, majas adalah cara melukiskan sesuatu dangan jalan menyamakan dengan sesuatu yang lain dapat disebut juga kiasan dengan kata lain, majas mempersamakan sesuatu dengan sesuatu hal agar dapat digambarkan dengan lebih jelas dan agar mandapatkan nilai keindahannya Gorys Keraf dalam bukunya yang berjudul diksi dan gaya bahasa, diperjelas macam-macam majas, diantaranya:
a.)           Majas persamaan atau simile adalah perbandingan yang bersifat eksplinsit yang maksud dengan perbandingan yang bersifat eksplinsif ialah bahwa ia langsung menyatakan sesuatu sama dengan hal yang lain, untuk itu ia memerlukan upaya yang secara eksplinsit menunjukan kesamaan itu. Seperti dalam kutipan puisi “Doa” berikut ini.
Hatiku terang menerima katamu, bagai  binatang memangsa lilinya.
Kalbuku terbuka menunggu kekasihmu, bagai sedap malam meyirak kelopak.
b.)          Majas metafora adalah kata yang tidak memiki arti sebenarnya. Seperti dalam kutipan puisi “Doa” berikut ini.
Angin malam mengembus lemah, menyejuk badai, melambung rasa, menanyang pikir, membawa angan ke bawah kursimu.
c.)           Majas personifikasi atau prosopopoeia adalah semacam gaya bahasa kiasan yang menggambarkan benda-benda mati atau barang-barang yang tidak bernyawa seolah-olah memilki sifat-sifat manusia. Seperti dalam kutipan puisi “Doa” berikut ini.
Angin malam mengembus lemah, menyejuk badai, melambung rasa, menanyang pikir, membawa angan ke bawah kursimu.

d.)     Majas hiperbola adalah semacam majas yang mengandung sesuatu pernyataan yang berlebihan, dengan membesar-besarkan sesuatu hal[13]. Seperti dalam kutipan puisi “Doa” berikut ini.
Angin malam mengembus lemah, menyejuk badai, melambung rasa, menanyang pikir, membawa angan ke bawah kursimu.
7.    Imaji atau Citraan
Imaji menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah Sesuatu yang di bayangkan. Citraan adalah Gambaran-gambaran angan (pikiran) yang penyair gunakan untuk menimbulkan suasana yang khusus untuk membuat karya sastra lebih hidup gambaran dalam pikiran dan pengindaan dan juga lebih menarik perhatian.[14] Menurut penulis Imaji atau citraan dalam puisi Do’a Amir Hamzah terdapat Imaji Visual, Imaji Auditif, dan Imaji Perasa.
a.)      Imaji Visual
Pencitraan visual merupakan penginderaan atau presepsi, tetapi juga “mewakili” atau mengacu pada sesuatu yang tidak nampak, sesuatu yang berada di dakam (inner). Pencitraan visual dapat sekaligus menunjukan ke sesuatu yang nyata atau tidak tampak.[15] imaji visual berhubungan dengan pengelihatan manusia atau sesuatu yang nampak terlihat oleh mata teks puisi yang apa bila dibaca dapat langsung di interpretasikan dengan indra pengelihatan di kehidupan nyata. Seperti dalam kutipan puisi “Doa” berikut ini.
Dengan senja samar sepoi, pada masa purnama meningkatkan naik, setelah menghalaukan panas payah terik.
Dalam kutipan tersebut jelas tergambarkan waktu atau suasana dalam puisi tersebut, waktu yang ditunjukan dalam puisi tersebut adalah saat Magrib menjelang Isya.



b.)      Imaji Auditori
Imaji auditori merupakan gambaran dalam puisi yang dapat diterima oleh indra pendengaran manusia. seolah-olah pembaca dapat mendengar hanya dengan membaca puisi tersebut. Seperti dalam kutipan puisi “Doa” berikut ini.
Aduh, Kekahku, isi hatiku dengan katamu, penuh dadaku dengan cahayamu, biar berbinar mataku sendu, biar berbinar gelakku rayu!
Gelakku diartikan suara tertawa yang terdengar sangat keras
c.)    Imaji Perasa
Imaji perasa biasanya pembaca seolah-olah dapat merasakan peraan tokoh lirik pada puisi. Imaji perasa sesuatu yang bisa dirasakan, diraba dan disentuh. Seperti dalam kutipan puisi “Doa”di berikut ini.
Hatiku terang menerima katamu, bagai  binatang memangsa lilinya.
Tergambar jelas bahwa puisi tersebut mengibaratkan bahwa si aku dalam puisi tersebut merasa damai karna dekat dengan Tuhan yang disebutnya sebagai kekasih.

Makna yang terkandung dalam dalam Puisi “Doa”
“Doa” Amir Hamzah bersifat plasitis. Dalam pusinya Amir Hamzah ingin menunjukan kemesraan hubungannya dengan Tuhan bagikan kemesraannya dengan kekasih. Dalam puisi ini bahkan Tuhan disapa dengan kata “kekasihku”.[16]
Puisi ‘Doa’ karya Amir Hamzah terdiri atas dari tiga bait yang menunjukan kesejajaran gagasan. Sesuai dengan zamanya Pujangga Baru, Amir Hamzah mempergunakan ekspresi romantik dengan cara metaforis-alegoris yaitu dengan menyebutkan Tuhan dengan sebutan kekasih hal ini karena penyair ingin menunjukan kemesraan hubungannya dengan Tuhan bagaikan kemesraannya dengan sang kekasih. Hal ini dapat dilihat sebagai berikut:
Dengan apakah kubandingkan pertemuan kita, kekasihku?
Kalbuku terbuka menunggu kasihMu
Aduh, kekasihku, isi hatiku dengan kata Mu
Pada puisi ‘Doa’ karya Amir Hamzah mengandung makna waktu pertemuan antara si aku dengan kekasih Tuhan artinya, si aku sebagai mahluk ciptaan-Nya dan Tuhan bagai pencipta-Nya atau pertemuan itu dilakukan waktu shalat saat si aku ini berserah diri pada Tuhan. Sampai-sampai waktu tersebut dianggap sangat berharga, sehingga waktu tersebut tidak mau dilewatkan atau terabaikan. diibaratkan pertemuanya itu seperti pertemuan dengan sang kekasih. pertemuan itu dilaksanakan setelah shalat Magrib menjelang Isya. hal tersebut terbukti dalam penggalan puisi berikut ini
Dengan apakah kubandingkan pertemuan kita, kekasihku?
Dengan senja samar sepoi, pada masa purnama meningkat naik, setelah menghalaukan panas payah terik.
Puisi “Doa” mengandung makna permohonan si aku kepada Tuhan agar diberi petunjuk dan mencari ridho ilahi, supaya hati si aku merasa bahagia tentram dan damai.
Aduh kekasihku, isi hatiku dengan kata-Mu, penuhi dadaku dengan cahayamu, biar bersinar mataku, biar berbinar gelakku rayu!




Daftar Pustaka

Rahman Jamal D. dkk. 2014. 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh. Jakarta: PT Gramedia
Jan Van Luxemburg.1989. Tentang Sastra Jakarta: Intermasa
Pradopo Rachmat Djoko. 2007. Kajian Puisi.Yogyakarta : Gajah Mada University Press
Keraf Gorys. 2007. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: Gramedia
Siswanto. 2014. Metode Penelitian Sastra Analisis Struktur Puisi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Wellek Rene & Austin Warren. 1989. Teori Kesusastraan. Jakarta: Gramedia
Waluyo Herman J. 1995. Teori dan Apresiasi Puisi. Jakarta : Penerbit Erlangga


[1]Jamal D. Rahman dkk, 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh (Jakarta: PT Gramedia,2014), hlm 167
[2] Ibid. hlm. 168
[3] Ibid. hlm. 169
[4] Ibid. hlm. 169-170
[5]Ibid. hlm. 178
[6] Ibid. hlm.180
[7] Ibid. hlm.183
[8] Ibid. hlm. 185
[9] Luxemburg Jan Van, Tentang Sastra, (Jakarta: Intermasa,1989) hlm. 71-72
[10] Rachmat Djoko Pradopo, Kajian Puisi, (Yogyakarta : Gajah Mada University Press,2007) hlm.54
[11] Gorys Keraf, Diksi dan Gaya Bahasa, (Jakarta:Gramedia,2007) hlm.127-128
[12] Ibid. hlm. 130
[13] Ibid. hlm 135-140
[14]Siswanto, Metode Penelitian Sastra Analisis Struktur Puisi,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014) hlm. 210
[15] Rene Wellek & Austin Warren, Teori Kesusastraan,(Jakarta: Gramedia, 1989), hlm 238
[16] Herman J. Waluyo, Teori dan Apresiasi Puisi ( Jakarta : Penerbit Erlangga, 1995) hlm. 120

Tidak ada komentar:

Posting Komentar