Minggu, 15 Mei 2016

KAJIAN PUISI


Sultan Takdir Alisjahbana
Sebagai Kontribusi Pemikiran yang Kontroversi Tertuang Dalam Sajak “Kepada Kaum Mistik” dan “Perjuangan

Sultan Takdir Alisjahbana lahirdi Natal, Sumatera Utara pada tanggal 11 Februari 1908, ia wafat di Jakarta pada tanggak 17 Juli 1994genap pada usia 86 tahun. Semasa hidupnya ia dikenal sebagai sastrawan, budayawan, dan cendekiawan. Ia pun sangat dikenal sebagai pelopor “Pujangga Baru”.
Ia salah seorang yang sangat memperhatikan sastra Indonesia  terhadap masalah sejarah kebudayaan, termasuk sastra telah tampak sejak awal pertumbuhan sastra Indonesia di tahun 1930-an sebagaimana terbaca dalam polemik kebudayaan suntingan Achdiat K. Mihardja pada tahun 1977, Polemik yang berkembang antara tokoh-tokoh seperti Sultan Takdir Alisjahbana, Sanusi Pane, Poerbatjaraka, M. Amir, Ki Hadjar Dewantara, Adinegoro dan lain-lain memang tidak secara khusus memperdebatkan konsep kesusastraan Indonesia, tetapi telah memperlihatkan kesadaran mereka terhadap sejarah kebudayaan Indonesia.[1]
Sebagai seorang yang kritikan terhadap pemikiran-pemikiran tokoh-tokoh intelektual lainnya yang berkontribusi terhadap kemajuan Indonesia pada zamanya,  pemikiran STAlah yang sangat menyimpang dari kebanyakan tokoh lain, maka dari sisi pemikiran STA tersebut lahirlah karya STA dalam sebuah essai yang memang sangat kontroversial. Itulah sebabnya, essai STA ini mendapatkan cukup banyak kritikan. Setidak-tidaknya, tanggapan datang dari Sanusi Pane, Poetbartjaraka, Armijn Pane, Ki Hajar Dewantara, dan tokoh-tokoh intelektual Indonesia waktu itu. Bahkan, Poerbatjaraka, menyebut cara berpikir STA tentang sejarah Indonesia sebagai Waringin Sungsang, artinya pohon beringin yang akarnya keatas.[2]
Pandangan lainnya yang bertolak belakang akan pemikiran Sultan Takdir Alisjahbana yaitu Sanusi Pane yang dikutip dalam buku Pengantar Sejarah Sastra Indonesia karya Yudiono K.S. Sultan Takdir Alisjahbana berpendapat bahwa sebutan Indonesia telah dipergunakan secara luas dan kabur sehingga tidak secara tegas menunjukan pada semangat keindonesiaan yang baru sebagai awal pembangunan kebudayaan Indonesia raya. Menurut Takdir, semangat keindonesian yang baru seharusnya berkiblat kebarat dengan meyerap semangat atau jiwa intelektualnya agar wajahnya berbeda dengan masyarakat kebudayaan pra-Indonesia. Namun, pendapat yang teoritis itu di kritik oleh Sanusi Pane yang berpendapat bahwa Indonesia itu sudah ada sejak sekian abad yang silam dalam adat dan seni. Yang belum terbentuk adalah natie atau bangsa Indonesia, tetapi perasaan kebangsaan itu sebanarnya sudah ada.
Menurut Sanusi Pane, kebudayaan Barat yang mengutamakan intelektual untuk kehidupan jasmani tidak dengan sendirinya istimewa terbentuk oleh tantangan alam yang keras sehingga orang harus berpikir dan bekerja keras. Sementara itu, kebudayaan Timur pun memiliki keunggulan, yaitu mengutamakan kehidupan rohani karena kehidupan jasmani telah dimanjakan oleh alam yang serba memberikan kemudahan. Oleh karena itu, kebudayaan Indonesia baru dapat dibentruk dengan mempertemukan semangat intelektual Barat dengan semangat kerohanian Timur.
Menurut Takdir, perkenalan masyarakat Indonesia dengan bangsa Eropa selama barabad-abad telah menimbulakan perubahan besar dalam gaya hidup  dan pemikiran sehingga pada abad ke-19 boleh dikatakan bangsa Indonesia telah memasuki zaman modern. Tentu saja tidak berarti setiap individu menjadi orang modern, tetapi masih terlepas pada kaum terpelajar yang telah mengenal kebudayaan Barat secara intensif melalui pendidikan sekolah. Pengaruh kebudayaan Barat itu kemudian menyadarkan mereka terhadap kemungkinan menyatakan pendapat secara individual sebagaimana yang terjadi dalam sastra Eropa sehingga lahirlah sajak-sajak atau puisi baru yang mencerminkan individualitas penyair (Alisjahbana, 1996: 13-15)[3]
Begitulah Sultan Takdir Alisjahbana, lewat berbagai gagasan dan kiprahnya demi kemajuan bangsa ini, ia tampil sebagai salah seorang tokoh yang pengaruhnya memasuki berbagai bidang kehidupan bangsa Indonesia.
Karya yang mencerminkan akan ideologinya yaitu puisi, Kumpulan puisi Sultan Takdir Alisjahbana, Tebaran Mega pada tahun 1935 diterbitkan Pujangga Baru dalam nomor khusus. Konon kumpulan puisi itu, ditulis sesaat setelah istrinya Raden Ajeng Rohanio Baha meninggal dunia. Berbeda dengan gagasannya mengenai bangsa Indonesia yang harus mengejar ketertinggalannya dan oleh karena itu, tidak bisa lain, kecuali berorientasi dan menyerap semangat Barat, dalam kumpulan puisi itu, STA justru condong memperlihatkan pengaruh kuat Filsafat Hinduisme, Krisnamurti. Boleh jadi, puisi-puisi itu dihasilkan STA ketika ia begitu kehilangan istri tercintanya, maka pesan-pesan spiritualitas memperlihatkan semangat sentimentalisme, individualisme, dan primitivisme yang begitu kuat. Boleh jadi juga, ia ingin menunjukan pengaruh romantisisme Belanda, tapi gagal mengimplementasikan teori-teorinya tentangpuisi baru. Tentang puisi lama yang ditolaknya itu, STA sendiri malah menerbitkan buku yang berjudul Puisi Lama (Dian Rakyat, 1941) yang berisi sejumlah contoh puisi yang menurutnya sebagai puisi tradisional.[4]141-142
Melihat dari karyanya yang kontoversial seperti Puisi-puisi Sultan Takdir Alisjahbahana dikumpulkan dalam kumpulan puisi Tebaran Mega yang terdiri atas 38 puisi. Puisi-puisi dalam kumpulan puisi ini memberikan latar belakang sikap hidup Sultan Takdir Alisjahbana yang penuh dengan dinamika.
Salah satu puisinya yang terkenal adalah “Menuju ke Laut” yang diperkirakan mewakili pandangan tentang kebudayaan dan kesenian. Dinamika hidup begitu dicintainya, sehingga Sultan Takdir Alisjahbana memandang bahwa laut bukan lagi lambang ketenangan dan kedamaian. Demikian juga hidup, tidaklah merupakan tempat bertenang-tenang dan bersantai. Takdir terbangun dari mimpi nikmat tentang kesantaian kehidupan bangsa kita itu. Jika oleh Sanusi Pane laut dinyatakan penuh dengan kedamaian dan ketenangan, maka oleh Sultan Takdir Alisjahbana dikatakan penuh dengan gelora hidup yang berbuih-buih. Laut adalah lambang perjuangan hidup.[5]
Karena idealisme yang menggebu-gebu, seringkali Sultan Takdir Alisjahbana menunjukan kepada kita emosi yang meluap-luap tidak terkendali. Karena tampilannya emosi secara berlebihan, sebagaicontoh adalah puisi “Perjuangan” berikut:

Perjuangan
Kepada taman siswa

Tenteram dan damai?
Tidak, tidak, Tuhanku!
Tenteram dan damai waktu tidur di malam sepi
Tenteram dan damai berbaju putih di dalam kubur
Tetapi hidup ialah perjuangan
Perjuangan semata lautan segara
Perjuangan semata alam semesta
Hanya dalam berjuang beta merasa tenteram dan damai
Hanya dalam berjuang, berkobar Engkau, Tuhanku, di dalam dada.

Unsur intrinsik yang terdapat pada "Puisi Perjuangan"
Pembicara pada sebuah teks puisi kita dinamakan siakau, siaku lirik atau subjek lirik. Karena teks puisi biasanya bersifat monolog, maka pembicanya mempunyai tempat utama. Dalam puisi "Perjuangan" terdapat kata Beta yang berarti saya.
Majas repetisi adalah majas pengulangan kata-kata sebagai penegas. Majas ini terdapat pada larik pertama, ke tiga, ke empat dan pada baris ke enam dan ketujuh seperti dalam kutipan dibawah ini:
(baris ke ketiga dan ke empat)
Tenteram dan damai waktu tidur di malam sepi
Tenteram dan damai berbaju putih di dalam kubur
(baris ke enam dan ketujuh)
Perjuangan semata lautan segara
Perjuangan semata alam semesta
Imaji atau pencintraan yang ada dalam puisi ini adalah imaji sensasi internal terkait dengan aspek dalam seperti perasaan, terdapat pada bait pertama seperti dalam kutipan dibawah ini:
Tenteram dan damai?
Dalam puisi di atas, penyair menyindir perkataan tenteram dan damai yang dalam hal ini ditunjukan kepada Taman Siswa. Jika kita masih hidup di dunia ini, sebenarnya tidak layak menginginkan tenteran damai itu. Hanya waktu tidur dan matilah kita akan tenteram dan damai. Hidup penuh perjuangan karena dalam puisi tersebut secara berlebihan ia ingin menolak sikap yang puas terhadap keadaan tenteram dan damai itu. dalam puisi tersebut pula seolah-olah  ia sedang berdialog bersama Tuhan yang menunjukan sebuah Perjuangan dalam hidupnya itu atas nama Tuhan.
Puisi ini di tunjukan kepada Taman Siswa yang didiran oleh Ki Hajar Dewantara, dalm puisi tersebut STA mengkritik sistem Taman Sisiwa tersebut yang bertolak belakang akan pemikirannya yang Barat itu. menurut Ki Hajar Dewantara bahwa sistem dan model pendidikan dan pengajaran yang dikembangkan di sekolah-sekolah penjajah Belanda tidaklah cocok untuk golongan elit Bumiputra karena praksisnya mengabaikan secara sengaja apa yang menjadi ciri khas budaya Timur. Putra-putri Bumiputra yang di sekolahkan di HIS, misalnya, dididik dengan sisterm pendidikan pemerintah kolonial, yang jelas sesuai dengan harapan dan kepentingan mereka, tetapi tidak selaras dengan nilai-nilai ketimuran. Konten pelajaran-pelajaran (bacaan) yang diberikan, misalnya, baik secara implinsit maupun eksplinsip merupakan upaya pemerintah kolonial mengindoktrinasi generasi muda Bumiputra secara sistematis agar mereka melupakan dan merendahkan diri dan martabat kemanusiaan dan bangsanya sendiri. Melalui program-program dan pelajaran-pelajaran yang diberikan disekolah, pemerintah kolonial Belanda berupaya untuk mengalihkan perhatian golongan Bumiputra agar mereka tidak mengadakan pemberontakan dan tidak mendirikan organisasi atau partai politik yang menentang pemerintah penjajah.
            Mengetahui golongannya disetir cara berpikirnya secara sistematis melalui lembaga pendidikan yang menguntungkan penjajah, Ki Hajar Dewantara merasa tertantang dan terpanggil untuk menerapkan wawasannya tentang pendidikan yang dipelajarinya selama ditanah pembuangan. Gelora nasionalismenya membara. Bersama kelompok Mistik Jawa yang diikuti setelah kembali dari tanah buangan,ia berusaha merintis dan menciptakan suatu sistem pendidikan yang benar-benmar bersifat pribumi, yang visinya merangkul semua golongan (yang non pemerintah dan non islam) dan membangun kesadaran semua golongan untuk maju bersama sebagai sebuah bangsa dan bersatu melawan segala bentuk penjajahan.[6]
            Berkaitan dengan puisi STA “Perjuangan” yang di tunjukan oleh Taman Siswa, pandangan STA dalam puisinya yang berjudul “Kepada Kaum Mistik”,maksud dari Kaum  Mistik disini yaitu Fase penghayatan religius dalam arti pemahanan (thoughi) masih ada penghayatan yang lebih tinggi, yakni yang sering disebut mistik. bukan sebentuk mistikisme atau mistik takhayul, yang pada dasarnya menunjukan pada pengingkaran atau pelarian dari kehidupan nyata, melainkan pendewasaan yang lebih menunjukan kedalam, lalu pendapatmengenai Mistik di kemukakan oleh Iqbal terdapat dalam buku Sastra dan Religiositas karya  Y.B. Mangunwijaya menurutnya “pencapaian kepribadian yang mereka, bukan karena pelepasan diri dari ikatan hukum (agama) melainkan berkat penemuan sumber-sumber terakhir dari hukum didalam kedalam hati nuraninya’.[7]
Kaum Mistik merupakan suatu kepercayaan yang tinggi, tidak mudah menerima sesuatu dengan sekoyong-konyongnya mereka mempercayai karena mereka menggangap datangnya dari para ahli atau yang tak tercela atau hanya karena orang-orang yang terkenal mempercayainya dan mereka tidak pernah menemui pendapat-pendapat yang berlawanan denganya.

Kepada Kaum Mistik

Engkau mencari Tuhanmu di malam kelam
Bila sepi mati seluruh bumi
Bila kabur menyatu segala warna
Bila umat manusia nyenyak terhenyak
Dalam tilam, lelah lelap
Tahulah aku, Tuhanmu Tuhan diam kesunyian!

Tetapi aku bertemu Tuhanku di siang-terang
Bila dunia ramai bergerak
Bila suara memenuhi udara
Bila nyata segala warna
Bila manusia sibuk bekerja
Hati jaga, mata terbuka
Sebab Tuhanku Tuhan segala gerak dan kerja

Aku berbisik dengan Tuhanku
Dalam kembang bergirang rona
Aku mendengar suara tuhanku
Dalam deru mesin terbang di atas kepalaku
Aku melihat Tuhanku
Dalam keringat ngalir orang sungguh bekerja.

Analisis unsur intrinsik puisi“Kaum Mistik” Pembicara dalam sebuah teks puisi kita namakan si aku, si aku lirik atau subyek lirik. Karena teks puisi biasanya bersifat monolog, maka pembicara mempunyai tempat utama.[8]dalam puisi Sultan Takdir Alisjahbana yang berjudul “Kepada Kaum Mistik” pada bait ke pertama baris enam yang menunjukan aku lirikterdapat kata:
Tahulah aku, Tuhanmu Tuhan diam kesunyian!
            Sebuah puisi tidak lepas dengan namanya majas, majas yang terdapat pada puisi ini yaitu Majas Sinekdoke berarti majas yang menyebutkan bagian untuk menggantikan benda secara keseluruhan atau sebagian. Majas ini terdapat pada bait pertama baris ke duaseperti :
Bila sepi mati seluruh bumi
Majas personifikasi majas yang membandingkan benda-benda tak bernyawa seolah olah mempunyai sifat seperti manusia. Majas ini terdapat pada bait tetiga baris ke dua seperti :
Dalam kembang bergirang rona
Diartikan sebuah bunga yang gembira yang memiliki warna cahaya muka seolah olah bunga adalah wajah manusia.
            Imaji atau pencintraan yang ada dalam puisi ini adalah yang pertamaImaji auditif terkait dengan indra pendengaran terdapat pada bait pertama baris ke enam seperti dalam kutipan di bawah ini:
Tahulah aku, Tuhanmu Tuhan diam kesunyian!
Terdapat pula bait ke tiga larik pertama
Aku berbisik dengan Tuhanku
Kedua Imaji visual yaitu terkait dengan indra pengelihatan yang terdapat pada bait ke tiga larik ke lima seperti dalam kutipan dibawah ini:
 Aku melihat Tuhanku
            Ketiga Imaji sensasi internal terkait dengan aspek dalam seperti perasaanterdapat pada bait ka tiga baris ke dua  seperti dalam kutipan dibawah ini:
Dalam kembang bergirang rona
            Mengenai makna Puisi “Kepada Kaum Mistik”  Sultan Takdir Alisjahbana menceritakan bahwa Tuhan ada dekat saat ia berjuang dan saat bekerja, ia menggangap Tuhan selalu memperhatikannya dan pada saat umatnya tertidurTuhan pun ikut sunyi ia merasa berselaras dengan Tuhan. Puisinya ini ditunjukan Kepada Kaum Mistik mereka yang berjuang mencari kebenaran.
Pandangan Sultan Takdir Alisjahbanamengenai Tuhan itu sangat rasional dan abstrak, namun dalam paham ini akal indra manusia, Sultan Takdir Alisjahbana  segera menyimpulkan keterbatasannya, dengan sadar itu, ia walaupun paham empiris dan rasionalisme, walaupun ia tetap menganggap pentingnya akal dan indra. Sultan Takdir Alisjahbana menempatkan manusia pada posisi sebagai makhuk tertinggi, karena manusia memiliki kemampuan menilai dari pada sekedar menggunakan insting. Menurut Sultan Takdir Alisjahbana tidak hanya menyerah dan pasrah kepada Tuhan, tapi ia menciptakan Tuhan sebagai wakil-nya didunia. Dan dengan kecakapannya memungkinkan manusia mencitakan kebudayaan serta peradaban. Sultan Takdir Alisjahbana amat menekan agar umat Islam meningkatkan etos ekonomi Islam sebagai pendorong nyata kemajuan peredaban Islam. Sultan Takdir Alisjahbanatergolong dalam golongan modern Islam Indonesia, Sultan Takdir Alisjahbana menilai telah menyamakan semangat Barat dengan semangat islam. Sultan Takdir Alisjahbana kagum pada kemajuan peradaban Barat, tapi tidak dapat menyembunyikan kekagumanya terhadap kekagumann islam pada zamanya yang terbukti dalam karya-karyanya.[9]


Daftar Pustaka

K.S Yudiono.2010. Pengantar Sejarah Sastra Indonesia (Jakarta: PT Grasindo)
D. Rahman Jamal dkk.2014.33 Tokoh Sastra Indonesia paling Berpengaruh (Jakarta: PT Gramedia)
J. Waluyo Herman.1995. Teori dan Apresiasi Puisi( Jakarta : Penerbit Erlangga)
Luxemburg Jan van. 1989. Tentang Sastra (Jakarta: Intermasa)
Sungging dan Diyanto. 2013.Visi Pendidikan Ki Hadjar Dewantara(Yogyakarta:Kanisius)
MagunwijayaY.B.1994. Sastra dan Religiositas (Yogyakarta:Kanisius) http://www.korantempo.com/korantempo/2008/02/27/opini/krn,20080227,68.id.htDiakses pada tanggal 13 mei 2016 pukul 17.30 WIB.




[1]Yudiono K.S, Pengantar Sejarah Sastra Indonesia (Jakarta: PT Grasindo,2010), hlm. 29
[2]Jamal D. Rahman dkk, 33 Tokoh Sastra Indonesia paling Berpengaruh (Jakarta:PT Gramedia,2014), hlm 128
[3]Op.Cit. hlm. 30
[4]Op.Cit. hlm. 141-142
[5] Herman J. Waluyo, Teori dan Apresiasi Puisi( Jakarta : Penerbit Erlangga, 1995) hlm. 212
[6]Diyanto & Sungging, Visi Pendidikan Ki Hadjar Dewantara, (Yogyakarta:Kanisius,2013) hlm.68-69
[7]Y.B. Magunwijaya, Sastra dan Religiositas, (Yogyakarta:Kanisius,1994) hlm. 41
[8] Lok.Cit. Hlm. 71
Diakses pada tanggal 13 mei 2016 pukul 17.30 WIB.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar