Sultan Takdir Alisjahbana
Sebagai Kontribusi Pemikiran yang Kontroversi
Tertuang Dalam Sajak “Kepada Kaum Mistik”
dan “Perjuangan”
Sultan Takdir
Alisjahbana lahirdi Natal, Sumatera Utara pada tanggal 11 Februari 1908, ia
wafat di Jakarta pada tanggak 17 Juli 1994genap pada usia 86 tahun. Semasa
hidupnya ia dikenal sebagai sastrawan, budayawan, dan cendekiawan. Ia pun sangat
dikenal sebagai pelopor “Pujangga Baru”.
Ia salah seorang
yang sangat memperhatikan sastra Indonesia
terhadap masalah sejarah kebudayaan, termasuk sastra telah tampak sejak
awal pertumbuhan sastra Indonesia di tahun 1930-an sebagaimana terbaca dalam
polemik kebudayaan suntingan Achdiat K. Mihardja pada tahun 1977, Polemik yang
berkembang antara tokoh-tokoh seperti Sultan Takdir Alisjahbana, Sanusi Pane,
Poerbatjaraka, M. Amir, Ki Hadjar Dewantara, Adinegoro dan lain-lain memang
tidak secara khusus memperdebatkan konsep kesusastraan Indonesia, tetapi telah
memperlihatkan kesadaran mereka terhadap sejarah kebudayaan Indonesia.[1]
Sebagai seorang
yang kritikan terhadap pemikiran-pemikiran tokoh-tokoh intelektual lainnya yang
berkontribusi terhadap kemajuan Indonesia pada zamanya, pemikiran STAlah yang sangat menyimpang dari
kebanyakan tokoh lain, maka dari sisi pemikiran STA tersebut lahirlah karya STA
dalam sebuah essai yang memang sangat kontroversial. Itulah sebabnya, essai STA
ini mendapatkan cukup banyak kritikan. Setidak-tidaknya, tanggapan datang dari
Sanusi Pane, Poetbartjaraka, Armijn Pane, Ki Hajar Dewantara, dan tokoh-tokoh
intelektual Indonesia waktu itu. Bahkan, Poerbatjaraka, menyebut cara berpikir
STA tentang sejarah Indonesia sebagai Waringin Sungsang, artinya pohon beringin
yang akarnya keatas.[2]
Pandangan
lainnya yang bertolak belakang akan pemikiran Sultan Takdir Alisjahbana yaitu
Sanusi Pane yang dikutip dalam buku Pengantar Sejarah Sastra Indonesia karya
Yudiono K.S. Sultan Takdir Alisjahbana berpendapat bahwa sebutan Indonesia
telah dipergunakan secara luas dan kabur sehingga tidak secara tegas menunjukan
pada semangat keindonesiaan yang baru sebagai awal pembangunan kebudayaan
Indonesia raya. Menurut Takdir, semangat keindonesian yang baru seharusnya
berkiblat kebarat dengan meyerap semangat atau jiwa intelektualnya agar
wajahnya berbeda dengan masyarakat kebudayaan pra-Indonesia. Namun, pendapat
yang teoritis itu di kritik oleh Sanusi Pane yang berpendapat bahwa Indonesia
itu sudah ada sejak sekian abad yang silam dalam adat dan seni. Yang belum
terbentuk adalah natie atau bangsa
Indonesia, tetapi perasaan kebangsaan itu sebanarnya sudah ada.
Menurut Sanusi
Pane, kebudayaan Barat yang mengutamakan intelektual untuk kehidupan jasmani
tidak dengan sendirinya istimewa terbentuk oleh tantangan alam yang keras
sehingga orang harus berpikir dan bekerja keras. Sementara itu, kebudayaan Timur
pun memiliki keunggulan, yaitu mengutamakan kehidupan rohani karena kehidupan
jasmani telah dimanjakan oleh alam yang serba memberikan kemudahan. Oleh karena
itu, kebudayaan Indonesia baru dapat dibentruk dengan mempertemukan semangat
intelektual Barat dengan semangat kerohanian Timur.
Menurut Takdir,
perkenalan masyarakat Indonesia dengan bangsa Eropa selama barabad-abad telah
menimbulakan perubahan besar dalam gaya hidup
dan pemikiran sehingga pada abad ke-19 boleh dikatakan bangsa Indonesia telah
memasuki zaman modern. Tentu saja tidak berarti setiap individu menjadi orang
modern, tetapi masih terlepas pada kaum terpelajar yang telah mengenal
kebudayaan Barat secara intensif melalui pendidikan sekolah. Pengaruh kebudayaan
Barat itu kemudian menyadarkan mereka terhadap kemungkinan menyatakan pendapat
secara individual sebagaimana yang terjadi dalam sastra Eropa sehingga lahirlah
sajak-sajak atau puisi baru yang mencerminkan individualitas penyair (Alisjahbana,
1996: 13-15)[3]
Begitulah Sultan
Takdir Alisjahbana, lewat berbagai gagasan dan kiprahnya demi kemajuan bangsa
ini, ia tampil sebagai salah seorang tokoh yang pengaruhnya memasuki berbagai
bidang kehidupan bangsa Indonesia.
Karya yang
mencerminkan akan ideologinya yaitu puisi, Kumpulan puisi Sultan Takdir
Alisjahbana, Tebaran Mega pada tahun
1935 diterbitkan Pujangga Baru dalam nomor khusus. Konon kumpulan puisi itu, ditulis
sesaat setelah istrinya Raden Ajeng Rohanio Baha meninggal dunia. Berbeda
dengan gagasannya mengenai bangsa Indonesia yang harus mengejar ketertinggalannya
dan oleh karena itu, tidak bisa lain, kecuali berorientasi dan menyerap semangat
Barat, dalam kumpulan puisi itu, STA justru condong memperlihatkan pengaruh
kuat Filsafat Hinduisme, Krisnamurti. Boleh jadi, puisi-puisi itu dihasilkan
STA ketika ia begitu kehilangan istri tercintanya, maka pesan-pesan
spiritualitas memperlihatkan semangat sentimentalisme, individualisme, dan primitivisme
yang begitu kuat. Boleh jadi juga, ia ingin menunjukan pengaruh romantisisme Belanda,
tapi gagal mengimplementasikan teori-teorinya tentangpuisi baru. Tentang puisi
lama yang ditolaknya itu, STA sendiri malah menerbitkan buku yang berjudul Puisi Lama (Dian Rakyat, 1941) yang
berisi sejumlah contoh puisi yang menurutnya sebagai puisi tradisional.[4]141-142
Melihat dari
karyanya yang kontoversial seperti Puisi-puisi Sultan Takdir Alisjahbahana
dikumpulkan dalam kumpulan puisi Tebaran
Mega yang terdiri atas 38 puisi. Puisi-puisi dalam kumpulan puisi ini
memberikan latar belakang sikap hidup Sultan Takdir Alisjahbana yang penuh
dengan dinamika.
Salah satu
puisinya yang terkenal adalah “Menuju ke
Laut” yang diperkirakan mewakili pandangan tentang kebudayaan dan kesenian.
Dinamika hidup begitu dicintainya, sehingga Sultan Takdir Alisjahbana memandang
bahwa laut bukan lagi lambang ketenangan dan kedamaian. Demikian juga hidup,
tidaklah merupakan tempat bertenang-tenang dan bersantai. Takdir terbangun dari
mimpi nikmat tentang kesantaian kehidupan bangsa kita itu. Jika oleh Sanusi
Pane laut dinyatakan penuh dengan kedamaian dan ketenangan, maka oleh Sultan
Takdir Alisjahbana dikatakan penuh dengan gelora hidup yang berbuih-buih. Laut
adalah lambang perjuangan hidup.[5]
Karena idealisme
yang menggebu-gebu, seringkali Sultan Takdir Alisjahbana menunjukan kepada kita
emosi yang meluap-luap tidak terkendali. Karena tampilannya emosi secara
berlebihan, sebagaicontoh adalah puisi “Perjuangan”
berikut:
Perjuangan
Kepada taman siswa
Tenteram dan damai?
Tidak, tidak, Tuhanku!
Tenteram dan damai waktu tidur di malam
sepi
Tenteram dan damai berbaju putih di
dalam kubur
Tetapi hidup ialah perjuangan
Perjuangan semata lautan segara
Perjuangan semata alam semesta
Hanya dalam berjuang beta merasa
tenteram dan damai
Hanya dalam berjuang, berkobar Engkau,
Tuhanku, di dalam dada.
Unsur intrinsik yang terdapat pada "Puisi
Perjuangan"
Pembicara pada
sebuah teks puisi kita dinamakan siakau, siaku lirik atau subjek lirik. Karena
teks puisi biasanya bersifat monolog, maka pembicanya mempunyai tempat utama.
Dalam puisi "Perjuangan"
terdapat kata Beta yang berarti saya.
Majas repetisi
adalah majas pengulangan kata-kata sebagai penegas. Majas ini terdapat pada
larik pertama, ke tiga, ke empat dan pada baris ke enam dan ketujuh seperti
dalam kutipan dibawah ini:
(baris ke ketiga
dan ke empat)
Tenteram
dan damai
waktu tidur di malam sepi
Tenteram
dan damai
berbaju putih di dalam kubur
(baris ke enam
dan ketujuh)
Perjuangan
semata
lautan segara
Perjuangan
semata
alam semesta
Imaji atau
pencintraan yang ada dalam puisi ini adalah imaji sensasi internal terkait dengan
aspek dalam seperti perasaan, terdapat
pada bait pertama seperti dalam kutipan dibawah ini:
Tenteram
dan damai?
Dalam puisi di atas,
penyair menyindir perkataan tenteram dan damai yang dalam hal ini ditunjukan
kepada Taman Siswa. Jika kita masih hidup di dunia ini, sebenarnya tidak layak
menginginkan tenteran damai itu. Hanya waktu tidur dan matilah kita akan
tenteram dan damai. Hidup penuh perjuangan karena dalam puisi tersebut secara
berlebihan ia ingin menolak sikap yang puas terhadap keadaan tenteram dan damai
itu. dalam puisi tersebut pula seolah-olah
ia sedang berdialog bersama Tuhan yang menunjukan sebuah Perjuangan
dalam hidupnya itu atas nama Tuhan.
Puisi ini di
tunjukan kepada Taman Siswa yang didiran oleh Ki Hajar Dewantara, dalm puisi
tersebut STA mengkritik sistem Taman Sisiwa tersebut yang bertolak belakang
akan pemikirannya yang Barat itu. menurut Ki Hajar Dewantara bahwa sistem dan
model pendidikan dan pengajaran yang dikembangkan di sekolah-sekolah penjajah Belanda
tidaklah cocok untuk golongan elit Bumiputra karena praksisnya mengabaikan
secara sengaja apa yang menjadi ciri khas budaya Timur. Putra-putri Bumiputra
yang di sekolahkan di HIS, misalnya, dididik dengan sisterm pendidikan
pemerintah kolonial, yang jelas sesuai dengan harapan dan kepentingan mereka,
tetapi tidak selaras dengan nilai-nilai ketimuran. Konten pelajaran-pelajaran
(bacaan) yang diberikan, misalnya, baik secara implinsit maupun eksplinsip merupakan
upaya pemerintah kolonial mengindoktrinasi generasi muda Bumiputra secara
sistematis agar mereka melupakan dan merendahkan diri dan martabat kemanusiaan
dan bangsanya sendiri. Melalui program-program dan pelajaran-pelajaran yang
diberikan disekolah, pemerintah kolonial Belanda berupaya untuk mengalihkan perhatian
golongan Bumiputra agar mereka tidak mengadakan pemberontakan dan tidak
mendirikan organisasi atau partai politik yang menentang pemerintah penjajah.
Mengetahui
golongannya disetir cara berpikirnya secara sistematis melalui lembaga
pendidikan yang menguntungkan penjajah, Ki Hajar Dewantara merasa tertantang
dan terpanggil untuk menerapkan wawasannya tentang pendidikan yang
dipelajarinya selama ditanah pembuangan. Gelora nasionalismenya membara.
Bersama kelompok Mistik Jawa yang diikuti setelah kembali dari tanah buangan,ia
berusaha merintis dan menciptakan suatu sistem pendidikan yang benar-benmar
bersifat pribumi, yang visinya merangkul semua golongan (yang non pemerintah
dan non islam) dan membangun kesadaran semua golongan untuk maju bersama
sebagai sebuah bangsa dan bersatu melawan segala bentuk penjajahan.[6]
Berkaitan dengan puisi STA “Perjuangan” yang di tunjukan oleh Taman
Siswa, pandangan STA dalam puisinya yang berjudul “Kepada Kaum Mistik”,maksud dari Kaum Mistik disini yaitu Fase penghayatan religius
dalam arti pemahanan (thoughi) masih ada penghayatan yang lebih tinggi, yakni
yang sering disebut mistik. bukan sebentuk mistikisme atau mistik takhayul,
yang pada dasarnya menunjukan pada pengingkaran atau pelarian dari kehidupan
nyata, melainkan pendewasaan yang lebih menunjukan kedalam, lalu pendapatmengenai
Mistik di kemukakan oleh Iqbal terdapat dalam buku Sastra dan Religiositas
karya Y.B. Mangunwijaya menurutnya “pencapaian
kepribadian yang mereka, bukan karena pelepasan diri dari ikatan hukum (agama)
melainkan berkat penemuan sumber-sumber terakhir dari hukum didalam kedalam
hati nuraninya’.[7]
Kaum Mistik
merupakan suatu kepercayaan yang tinggi, tidak mudah menerima sesuatu dengan
sekoyong-konyongnya mereka mempercayai karena mereka menggangap datangnya dari
para ahli atau yang tak tercela atau hanya karena orang-orang yang terkenal
mempercayainya dan mereka tidak pernah menemui pendapat-pendapat yang
berlawanan denganya.
Kepada
Kaum Mistik
Engkau mencari Tuhanmu di malam kelam
Bila sepi mati seluruh bumi
Bila kabur menyatu segala warna
Bila umat manusia nyenyak terhenyak
Dalam tilam, lelah lelap
Tahulah aku, Tuhanmu Tuhan diam
kesunyian!
Tetapi aku bertemu Tuhanku di
siang-terang
Bila dunia ramai bergerak
Bila suara memenuhi udara
Bila nyata segala warna
Bila manusia sibuk bekerja
Hati jaga, mata terbuka
Sebab Tuhanku Tuhan segala gerak dan
kerja
Aku berbisik dengan Tuhanku
Dalam kembang bergirang rona
Aku mendengar suara tuhanku
Dalam deru mesin terbang di atas
kepalaku
Aku melihat Tuhanku
Dalam keringat ngalir orang sungguh
bekerja.
Analisis unsur
intrinsik puisi“Kaum Mistik” Pembicara
dalam sebuah teks puisi kita namakan si aku, si aku lirik atau subyek lirik.
Karena teks puisi biasanya bersifat monolog, maka pembicara mempunyai tempat
utama.[8]dalam
puisi Sultan Takdir Alisjahbana yang berjudul “Kepada Kaum Mistik” pada bait ke pertama baris enam yang menunjukan
aku lirikterdapat kata:
Tahulah
aku, Tuhanmu Tuhan diam kesunyian!
Sebuah
puisi tidak lepas dengan namanya majas, majas yang terdapat pada puisi ini
yaitu Majas Sinekdoke berarti majas yang menyebutkan bagian untuk menggantikan
benda secara keseluruhan atau sebagian. Majas ini terdapat pada bait pertama
baris ke duaseperti :
Bila
sepi mati seluruh bumi
Majas
personifikasi majas yang membandingkan benda-benda tak bernyawa seolah olah
mempunyai sifat seperti manusia. Majas ini terdapat pada bait tetiga baris ke
dua seperti :
Dalam
kembang bergirang rona
Diartikan sebuah
bunga yang gembira yang memiliki warna cahaya muka seolah olah bunga adalah
wajah manusia.
Imaji
atau pencintraan yang ada dalam puisi ini adalah yang pertamaImaji auditif terkait
dengan indra pendengaran terdapat pada bait pertama baris ke enam seperti dalam
kutipan di bawah ini:
Tahulah
aku, Tuhanmu Tuhan diam kesunyian!
Terdapat pula bait ke tiga larik pertama
Aku
berbisik dengan Tuhanku
Kedua Imaji visual
yaitu terkait dengan indra pengelihatan yang terdapat pada bait ke tiga larik
ke lima seperti dalam kutipan dibawah ini:
Aku melihat Tuhanku
Ketiga
Imaji sensasi internal terkait dengan aspek dalam seperti perasaanterdapat pada
bait ka tiga baris ke dua seperti dalam
kutipan dibawah ini:
Dalam
kembang bergirang rona
Mengenai
makna Puisi “Kepada Kaum Mistik” Sultan Takdir Alisjahbana menceritakan bahwa
Tuhan ada dekat saat ia berjuang dan saat bekerja, ia menggangap Tuhan selalu
memperhatikannya dan pada saat umatnya tertidurTuhan pun ikut sunyi ia merasa
berselaras dengan Tuhan. Puisinya ini ditunjukan Kepada Kaum Mistik mereka yang
berjuang mencari kebenaran.
Pandangan Sultan
Takdir Alisjahbanamengenai Tuhan itu sangat rasional dan abstrak, namun dalam
paham ini akal indra manusia, Sultan Takdir Alisjahbana segera menyimpulkan keterbatasannya, dengan
sadar itu, ia walaupun paham empiris dan rasionalisme, walaupun ia tetap
menganggap pentingnya akal dan indra. Sultan Takdir Alisjahbana menempatkan
manusia pada posisi sebagai makhuk tertinggi, karena manusia memiliki kemampuan
menilai dari pada sekedar menggunakan insting. Menurut Sultan Takdir Alisjahbana
tidak hanya menyerah dan pasrah kepada Tuhan, tapi ia menciptakan Tuhan sebagai
wakil-nya didunia. Dan dengan kecakapannya memungkinkan manusia mencitakan
kebudayaan serta peradaban. Sultan Takdir Alisjahbana amat menekan agar umat Islam
meningkatkan etos ekonomi Islam sebagai pendorong nyata kemajuan peredaban Islam.
Sultan Takdir Alisjahbanatergolong dalam golongan modern Islam Indonesia, Sultan
Takdir Alisjahbana menilai telah menyamakan semangat Barat dengan semangat
islam. Sultan Takdir Alisjahbana kagum pada kemajuan peradaban Barat, tapi
tidak dapat menyembunyikan kekagumanya terhadap kekagumann islam pada zamanya
yang terbukti dalam karya-karyanya.[9]
Daftar Pustaka
K.S
Yudiono.2010. Pengantar Sejarah Sastra
Indonesia (Jakarta: PT Grasindo)
D.
Rahman Jamal dkk.2014.33 Tokoh Sastra
Indonesia paling Berpengaruh (Jakarta: PT Gramedia)
J.
Waluyo Herman.1995. Teori dan Apresiasi
Puisi( Jakarta : Penerbit Erlangga)
Luxemburg
Jan van. 1989. Tentang Sastra (Jakarta:
Intermasa)
Sungging
dan Diyanto. 2013.Visi Pendidikan Ki Hadjar
Dewantara(Yogyakarta:Kanisius)
MagunwijayaY.B.1994.
Sastra dan Religiositas
(Yogyakarta:Kanisius) http://www.korantempo.com/korantempo/2008/02/27/opini/krn,20080227,68.id.htDiakses
pada tanggal 13 mei 2016 pukul 17.30 WIB.
[2]Jamal D. Rahman dkk, 33 Tokoh
Sastra Indonesia paling Berpengaruh (Jakarta:PT Gramedia,2014), hlm 128
[4]Op.Cit. hlm. 141-142
[5] Herman J. Waluyo, Teori dan
Apresiasi Puisi( Jakarta : Penerbit Erlangga, 1995) hlm. 212
[6]Diyanto & Sungging, Visi
Pendidikan Ki Hadjar Dewantara, (Yogyakarta:Kanisius,2013) hlm.68-69
[7]Y.B. Magunwijaya, Sastra dan
Religiositas, (Yogyakarta:Kanisius,1994) hlm. 41
[8] Lok.Cit. Hlm. 71
Diakses pada tanggal 13 mei 2016 pukul
17.30 WIB.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar