Selasa, 17 Mei 2016

KAJIAN PUISI Review Novel : Student Hidjo, Salah Asuhan, Belenggu, Kehilangan Mestika,dan Jalan Tak Ada Ujung.


Review 1

Cinta Terlarang Hidjo dan Betje dalam Novel Student Hidjo Karya Mas Marco Kartodikromo.

            Novel Student Hidjo karya Mas Marco Kartodikromo adalah novel yang dibuat ketika ia dipenjara oleh pemerintah kolonialisme Belanda pada tahun 1918 dan pertama di siarkan lewat surat kabar Sinar Hindia pada tahun tersebut, kemudian di bukukan tahun 1919 oleh NV Boekhandel en Drukeriij Masman dan Stroink Semarang. Novel Student Hidjo dipandang sebagai novel perintis sastra Indonesia karena telah menyuarakan semangat kebangsaan dan perlawanan terhadap kolonialisme.[1] Cerita yang dimunculkan mengenai kisah cinta yang amat rumit dari para tokoh-tokohnya yaitu Hidjo, Biroe, Woengoe, Willem Walter, Wardoyo, Betje.
            Pada awal cerita dikisahkan seorang laki-laki yang bernama Hidjo yang memiliki sikap pendiam, ia sangat menyukai buku diwaktu senggangnya ia selalu meluangkan waktu untuk membaca. Hidjo rencananya akan melanjutkan sekolahnya ke Negri Belanda sebagai seorang insinyur oleh bapaknya namun ibunya merasa berat hati akan kepergian anak semata wayangnya tersebut karena ibunya tahu pergaulan disana itu bebas ditambah pula ia sudah bertunangan dengan Biroe jadi wajarlah seorang ibu menghawatirkan akan nasib anaknya disana.
            Di negri Belanda  Hidjo tinggal bersama teman gurunya yang bernama Piet ia memiliki dua orang anak perempuan anak sulungnya bernama Betje dan adiknya Marie. Hidjo menempati kamar milik Betje. Pada awal pertemuan Betje menaruh hati pada Hidjo. Seperti dalam kutipan berikut.
 “Ah, kamu suka sekali masakan jawa!” jawab Betje dan tertawa sambil matanya yang putih itu melihat Hidjo dengan tajam.[2]

Betje selalu mendekati Hidjo ia sangat mencintai Hidjo, Hidjo pun menyadari Betje memiliki perasaan terhadapnya. kedekatan mereka semakin hari semakin dekat. Betje selalu mengajak Hidjo melacong untuk mengenalkan Negri Belanda, Hidjo pun tak menolak ajakan Betje tersebut. Pada suatu ketika Hidjo melihat opera Faust, opera tersebut sangat di sukai oleh masyarakat Belanda, dari opera tersebut di ceritakan tokoh Faus yang seakan-akan Hidjo merasa tersindir karena Faust memiliki kesaman terhadap dirinya. Lama kelamaan Perubahan watak Hidjo telah nampak awalnya karena pengaruh cerita Faust, Perubahan watak Hidjo pun dirasakan oleh Betje, Betje merasa senang akan perubahan perilaku Hidjo tersebut.
Pada suatu ketika Betje mengajak Hidjo untuk menonton Lili Green ia tak tahu apa itu Lili Green, Betje membujuk Hidjo untuk menemaninya melihat Lili Green hanya mereka berdua saja, Lalu didapatinya izin pada ayahnya untuk pergi bersama Hidjo melihat Lili Green. Pukul setengah delapan malam Betje dan Hidjo pergi ke Prinsesse Schouwburg hendak melihat Lili Green. Pukul sembilan layar dibuka tanda Lili Geen dimulai Hidjo tak pernah melihat Lili Green sebelumnya, tak disangka-sangka saat melihat Lili Green ia merasa hatinya berdebar-debar saat melihat enam orang perempuan telanjang, yang hanya memakai kain sutra yang amat tipis hingga terlihat lekuk tubuhnya yang jelas menunjukan kebolehannya menari-nari dan berdansa.
Waktu menunjukan pukul setengah sebalas pertunjukan itu berhenti nanti akan di lanjut kembali. Namun Hidjo rasa mereka harus pulang, namun Betje mengajaknya melancong kesebuah tempat karna ia rasa waktunya terlalu singkat bersama Hidjo, ia ingin lebih lama bersama Hidjo. diturutilah permintaan Betje pada sebuah kutipan dibawah menunjukan Betje menggoda Hidjo mengajaknya kesebuah Hotel.
Dua orang muda-mudi. Seorang perjaka bangsa Jawa dan gadis Eropa, terus melancong dengan jalan kaki. Dengan memaksa diri, Betje menggandeng tangan Hidjo. Wajahnya didekat ketelinga Hidjo sambil berbisik-bisik yang tak bisa di dengar oleh orang lain. Demikian pula Hidjo, dengan keberaniannya ia mau memenuhi permintaan Betje.[3]

Betje mengajak Hidjo ke sebuah hotel Scheveningen, sebenarnya hati Hidjo berdebar-debar saat mereka mulai masuk kamar hotel sudah bisa diperkirakan apa yang akan mereka lakukan. Cinta terlarang yang ia lakukan bersama dengan Betje saat itu ia lupa akan nasehat ibunya, ia lupa akan seseorang yang ia cintai di tanah Jawa yang akan ia nikahi suatu saat nanti.
Setelah kejadian tersebut barulah Hidjo merasa sedih apabila teringat orang-orang yang dikasihinya di tanah Jawa, ia pasti sangat mengecewakan terutama orang tua juga tunangannya. Ia merasa bahwa dirinya harus menjaga jarak terhadap Betje ia takut akan permasalah yang lebih parah terjadi.
Hidjo memutuskan untuk pergi ke Amsterdam menumpang di sebuah hotel kecil, disana ia mencoba memperbaiki diri menebus segala dosa-dosanya ditemani dengan kesunyian. Ia dapat menenangkan dirinya dan selama itu ia berpuasa sebagai mana orang tuanya ajarkan. Ia hanya memakan kentang, sayuran, ia tidak memakan danging ataupun ikan. Badan Hidjo semakin kurus Ia merasa bahwa dirinya harus pulang ke tanah Jawa. Dua minggu lamanya ia tinggal di Amsterdam dan ia bekerja banting tulang untuk mengumpulkan uang sebagai bekal perjalanannya ke tanah Jawa. Selama kepergian Hidjo ke Amsterdam Betje merasa sedih tak ada kehadiran Hidjo disampingnya.
Pada suatu ketika Hidjo menerima surat dari ibunya yang meminta Hidjo untuk  pulang  ke tanah Jawa mengurus perjodohannya dengan Biroe. Hidjo merasa berat untuk memberitahu Betje akan kepergianya nanti ke tanah Jawa. Sebelum ia pulang ketanah Jawa ia mengajak Betje pergi ke Amsterdam untuk sekedar berjalan-jalan. Tibalah saatnya ia memberitahuan Betje rencana kepulangan Hidjo ke tanah Jawa. Namun disisi lain Betje menyadari kehamilan atas hubunganya bersama Hidjo, ia merasa ia harus ikut ketanah Jawa bersama Hidjo namun apa daya semua yang ia harapakan harus terkubur dalam-dalam. Pilihan Betje satu-satunya pada saat itu ialah harus menggugurkan kandungannya sebelum anak itu lahir tanpa seorang ayah. Hidjo meninggalkan Betje dengan memberikan sebuah buku pos spaarbank yang ditulisi namanya dan didalamnya ditaruh uang sebesarf. 1000,-. Lalu di akhir cerita Hidjo menikah dengan Woengoe, Biroe dengan wardojo, dan Betje dengan Walter. Mereka lalu hidup rukun dan bahagia.
Pada karya Mas Marco Kartodikromo Student Hidjo adalah karya sastra yang monumental. Marco juga selalu melahirkan novel kontroversial yang mengundang reaksi keras dari masyarakat dizamannya. Pada Novel Student Hidjo ini menunjukan bahwa adanya pengaruh politik serta kolonialisme dalam diri Marco.


 
Review 2

Kedudukan Rafiah sebagai Istri Hanafi Novel Salah Asuhan karya Abdoel Moeis

Novel Salah Asuhan karya Abdoel Moeis ini terbitan pertama pada tahun 1928. Abdoel Moeis lahir pada 3 Juni 1883 di Sungai Puar, Bukit Tinggi, Sumatra Barat. Beliau Wafat pada 17 juni 1959. Abdoel Moeis tak hanya seorang sastrawan, melaikan juga seorang wartawan dan pejuang di zamanya. Latar belakang dari Abdoel Moeis seorang pejuang ia lahirlah novel pada masa penjajahan Belanda sebelum Indonesia merdeka. Dalam cerita Salah Asuhan ini disinggung pula dari beberapa tokoh yang memang bukan Pribumi melaikan dari bangsa Eropa yang menjadikan ceritanya yang tak biasa.
Mengenai tokoh Rafiah sebagai istri Hanafi yang memang dirasa sangatlah dramatis apa bila diceritakan dalam novel tersebut, kedudukan Rapiah sebagai istri Hanafi disetarakan dengan babu yang rendahan, pendidikan barat yang diresap penuh olah Hanafi membuat hatinya sedingin bagai kristal es, Selain Rafiah, ibu Hanafi sendiri dibuat sabar akan perilaku Hanafi menganggap semua keluarganya bodoh adalah cara pelampiasan emosi yang selalu memuncak. Namun sifat sabar keduanya yang mempererat hubungan antara istri Hanafi dan ibu mertua. Seperti yang terdapat dalam kutipan di bawah ini yang tergambar sifat Rafiah yang penyabar.
“Rapiah memang bersifat sabar. Asal engkau tidak menyia-nyiakan, sekadar engakau harik dan bengisis saja, tentu ia takkan menghilangkan sabarnya, Hanafi! Sebutir intan yang belum digosok sudah ibu sediakan untukmu, baiklah engkau percaya pada ibumu.”[4]

Rafiah mempunyai kedudukan dan perilaku yang cukup baik. Oleh karena itu ibu Hanafi menginginkan perjodohan antara anaknya Hanafi dengan Rafiah bisa berujung pada pernikahan yang sakinah. Namun apa daya Hanafi yang berwatak sombong dan keras kepala, ia sebenarnya sama sekali tidak mencintai Rafiah karna ia lebih mencintai anak dari Belanda namanya Corrie menurutnya Corrie adalah sosok perempuan satu-satunya yang ia cintai. Namun diceritakan Corrie dilanda kebingungan akan cintanya pada Hanafi karena Hanafi berasal dari pribumi yang mengakibatkan ketidak sederajatan. Ibunya selalu menceritakan tentang sosok Rafiah. Seperti yang terdapat dalam kutipan di bawah ini
“Yang paling ibu sukai, sudahlah ibu katakan dahulu. Tidak lain hanyalah Rapiah, anak kaka kandung ibu. Yang seibu sebapa dengan ibu, hanya Sultan Batuah, guru kepala di Bonjol. Bukan sebuah-sebuah kebaikannya, jika engkau suka mengulangi Rapiah. Pertama, adalah menurut sepanjang adat, bila engkau mengulangi anak mamakmu. Kedua rupa Rapiah pun dikatakan tidak buruk. Ketiga sekolahnya cukup, tamat HIS. Keempat ia diasuh baik-baik oleh orangnya. Lepas dari sekolah ia dipingit lalu diajarkan ke dapur, menjahit dan merenda. Kelima parangainya baik, hati tulus dan sabar. Keenam- ah banyak lagi kebaikannya, Hanafi. Ibu kenal anak itu semula ia lahir kedunia. Tapi yang sangat berarti bagi ibu, sangat susah ibu memikirkannya, ialah karena engkau sudah lama kami pertunangkan dengan Rafiah: kami sudah bertimbang tanda. Dan itulah sebabnya maka mamakmu, Sultan Batuah, suka merugi beratus sampai ribu buat menyekolahkan engkau. Bagaimanalah daya ibu sekarang, karena pendapatan engkau tentang beristri secara itu!”62[5]

Pandangan Hanafi kepada Rafiah tak urungnya berubah sama sekali hingga saat mereka menikah sampai mempunyai anak sikap jelek Hanafi saja melekat mengangap istri pemberian ibunya itu yang kampungan dan juga bodoh Dalam bahretai rumah tangga Hanafi dan Rafiah, Rafiah sering diperlakukan tidak baik oleh Hanafi berkali-kali perlakuan Hanafi yang membuatnya terpukul atas perlakukannya yang dirasa melampaui batas namun dari sifat penyabar Rafiahlah yang membuatnya kuat akan menghadapi sikap suaminya Hanafi. Seperti yang terdapat dalam kutipan di bawah ini
Kemarahan Hanafi kepada anaknya, yang katanya sudah dimasuki setan dan kepada si Buyung yang masih belum datang, serta malunya kepada kawan-kawannya melihat istrinya datang, yang tidak ubahnya rupanya dengan koki, semuanya sudah tertumpah ke atas kepada Rapiah.[6]



Sifat Rafiah sabar akan perlakuan Hanafi tetap terus kukuh dalam batinnya sebetulnya ibu Hanafi tak salah memilih 2Rafiah sebagai istri, namun pada kenyataannya Hanafilah yang tak sesuai dengan Rafiah menjodohkan keudnya adalah kesalahan yang fatal, Hanafi sama sekali tidak mencintai Rafiah. Hingga pada suatu ketika Rafiah dibelenggu oleh keharusannya menjaga serta mendidik anaknya. Namun Hanafi tak memikirkannya sama sekali, tujuan tetap sama seperti dulu yaitu bahagia bersama Corrie gadis bangsa Eropa. Pada saat itu Hanafi sedang berada di kota Betawi bertemulah ia dengan gadis yang bernama Corrie itu. Rafiah ditinggal kawin oleh Hanafi, Rafiah pun menjanda diembannya semua tanggung jawab untuk membesarkan anaknya sendiri. Ibu mertuanya mengenjurkan untuk tetap bersamanya, kasih sayang ibu mertuanya sangatlah diterima baik oleh Rafiah sudah berbagai macam permasalan yang mereka berdua hadapi hingga kedekatannya sudah seperti ibu dan anak. Seperti yang terdapat dalam kutipan di bawah ini
Lamalah kedua perempuan itu duduk beramah-ramahan. Segala kesedihan sudah berangsur-angsur pindah kepada sifat bertawakal dan iman. Masing-masing menerima kadarnya dengan hati tetap dan penuh keyakinan, bahwa meraka ada berkewajiban besar terhadap anak kecil, syafei, yang tidak berdosa dalam perbuatan ayahnya yang serupa itu.[7]

Sosok Rafiah yang sangat penyabar akan segala macam permasalahan yang ia hadapi tak ubahnya membuatnya sabar akan perlakuan Hanafi yang begitu keras padanya, Rafiah harus mengikuti kehendak suaminya apa pun itu, namun ia sama sekali tidak diberi hak untuk menuntut cinta kasihnya selayaknya suami berikan pada seorang istri, sifat Rafiah yang penyabar itulah yang membuat ibu Hanafi menyayangi Rafiah seperti anak kandungnya.



Review 3

   Emansipasi Tini sebagai seorang Istri pada Novel Belenggu karya Armijn Pane

Armijn Pane terkenal dengan salah satu novelnya yang berjudul Belenggu yang diterbitka tahun 1940. Armijn termasuk kedalam angkatan Punjangga baru. Novel Belenggu mendapat tanggapan dari berbagai pihak  bersifat pro dan kontra pada zaman itu. Novel Belenggu ini pernah ditolak oleh salah satu penerbit pustaka karna ramai diperbincangkan, pada akhirnya novel ini menjadi salah satu roman klasik modern Indonesia yang mesti wajib dibaca. Pemikiran-permikirannya dalam karyanya yang di kritik oleh Sultan Takdir Alisjahbana bahwa sebenarnya Armijn Pane lebih bersifat sebagai seorang penyair dibanding saudara kandungnya Sanoesi Pane. Dalam novel Belenggu ini terdapat beberapa makna yang tersirat didalamnya. Tema yang diangakat pada novel Belenggu ini tentang kehidupan tokoh yang tergolong dalam kelas elit.
Belenggu menceritakan tentang tokoh  bernama Sukartono yang menikah dengan seorang perempuan yang bernama Sumartini. Sesungguhnya mereka menikah tanpa didasari rasa cinta mereka menikah karena memiliki kepentingan masing-masing. Alasan Sukartono menikahi Sumartini karena ia memiliki paras cantik dan juga ia adalah sosok perempuan yang cerdas. Lalu alasan Sumarini menikahi Sukartono dikarnakan hanya sekedar ingin melupakan masa lalunya. Konfik batin cinta berantai yang terjadi  antara tokoh Tono dan Tini serta dihadirkan pula nanti tokoh Yah sebagai perempuan yang mencintai Tono namun dengan cara perspektif yang berbeda dengan Tini.
Pada awal cerita dikisahkan seorang tokoh Sukartono adalah  seorang dokter ia bekerja sangat displin tanpa pandang siapa pasien tersebut, dia juga seorang dokter yang dermawan ia menjadi dokter bukan hanya sebagai tumpuan hidupnya, namun ia juga selalu menolong mengobati pasiennya yang sakit dengan Cuma-Cuma tanpa bayaran sepeser pun.
Dulu Tini sebelum menikah dengan Tono, Tini adalah seorang perempuan yang sangat populer dia senang perpesta-pesta sampai-sampai ia dijuluki sebagai Ratu Pesta. Dia memiliki prinsip yang kuat, ia ingin mendapat suatu kebebasan hak sepenuhnya atas dirinya sendiri dalam menjalani kehidupannya. Tini  Mencoba memiliki perspektif mengenai kehidupan rumah tangganya, ia memiliki rasa kemandirian dan kebebasan dalam menjalani sebuah pernikahan dengan Tono.
Tono yang sibuk sebagai dokter ternyata menjadi lalai akan kewajibanya sebagai suami, sedangkan Tini yang telah bergiat sendiri dalam perjuangan emansipasi pun menjadi seorang yang sibuk dengan dirinya sendiri. akibatnya rumah tangga mereka terbelah oleh rasa egois masing masing, padahal sebenarnya mereka  sama-sama mendambakan rasa kasih sayang selayaknya suami dan istri.
Tono yang sibuk bekerja lupa akan rasa kasih sayang serta perhatian dari seseorang yang ia kasihi, lalu dihadirkan tokoh Yah ia memiliki sifat yang berbeda dengan Tini ia adalah sosok perempuan yang perduli serta perhatian terhadap orang yang dikasihinya. Pada saat itu kondisi batin Tono merasakan kasih sayang Yah melebihi kasih sayang  istrinya sendiri terhadap dirinya. mereka pun sering bertemu yang menciptakan sebuah keharmonisan diantara keduanya. Sesungguhnya Tini sangat berharap Tono selalu perduli juga perhatian padanya namun ia menyayangi Tono dengan cara yang berbeda dibading Yah. Terdapat Kutipan yang menggambarkan rasa sayang Tini kepada Tono .
Apa katanya tadi? tentang perempuan sekarang? Perempuan sekarang hendak sama haknya dengan kaum laki-laki. Apa yang hendak disamakan. Hak perempuan ialah mengurus anak suaminya, mengurus rumah tangga. Perempuan sekarang Cuma meminta hak saja pandai. Kalau suaminya pulang dari kerja, benar dia suka menyambutnya, tetapi mengajak suaminya duduk, biar ditanggalkannya sepatunya. Tak tahukah perempuan sekarang, kalau dia bersimpuah dihadapan suaminya akan menanggalkan sepatunya, bukankah itu tanda kasih, tanda setia? Apa lagi hak perempuan, lain dari memberi hati pada laki-laki.[8]

Pada suatu ketika Tini  tahu suaminya Tono tengah berselingkuh dengan perempuan penyanyi kroncong. bergejolak dalam hatinya ia merasa marah dan cemburu. Lalu Ia pergi mencari perempuan simpanan suaminya itu. Pertemuan Tini dengan Yah memberikan kesan yang berbeda. Pada awalnya Tini Memarahi Yah dengan mengata-ngatainya sebagai perempuan perebut suami orang, Walau begitupun Yah tahu tentang masa lalu Tini yang membuat Tini  terkejut tak menyangka bahwa Yah tahu masa lalunya Tini.  Yah yang memang memiliki propesi sebagai wanita pelacur namun dari pernyataannya membuat Tini merasa bahwa Yah memiliki kesamaan terhadap dirinya. Pada akhirnya Tini merelakan Yah bersama dengan Tono, namun sebenarnya Yah akan memutuskan untuk meninggalkan Tono Juga. Tini dan Yah mencoba untuk saling berdamai mereka berjabat tangan dan saling berpandangan.
Tini merasa terperangkap oleh norma-norma  yang dibebankan kepadanya sebagai seorang istri. Hasratnya untuk merdeka dan statusnya sebagai seorang istri berperang dalam dirinya sendiri, dia memutuskan untuk mengakhiri pernikahannya yang tidak bahagia. dalam kutipan dibawah ini keputusan Tini yang membuatnya terbebas dari rasa Belenggu.
Di dalam Hati Tini tenang, karena sudah mengandung keputusan. Haru biru yang selama ini dalam hatinya sudah hilang sama sekali. Belenggu yang sebagai mengikat semangatnya yang terlepas. Dihadapan mata semangatnya dengan terang memajangkan jalan yang akan ditempuhnya.[9]

Tini dan Yah menempuh jalan masing-masing, namun masa depan mereka saling terkait karena faktanya mereka mengambil jalur yang sama.Armijn Pane berbeda dengan pengarang-pengarang yang sejamannya yang cenderung memihak kepada salah satu tokoh saja atau mematikan salah satu tokohnya. Armijn pane mengakhiri cerita Belenggu dengan cara yang adil bagi ketiga tokoh utama. Mereka terpisah menjalani hidup masing-masing terlepas dari rasa Belenggu. Makna yang mendalam di setiap konflik yang dimunculkan. Mengkritik sosial yang tajam dalam kisah ini bisa menjadi sebuah pelajaran bagi generasi muda dalam menjalani kehidupan yang terhegemoni oleh sebuah sistem.



Review 4

 Perspektif Hamidah Mengenai Adat-Istidat pada Novel Kehilangan Mestika karya Hamidah

Novel Kehilangan Mestika karya Hamidah yang memiliki nama asli Fatimah Hasan Delais  ini terbitan pertama kali pada tahun 1935, dan pada cetakan kelima dan keenam novel Kehilangan Mestika dicetak ulang sebanyak 10.000 eksemplar. Berdasarkan data yang diperoleh novel Kehilangan Mestika ini salah satu novel yang sangat diminati dizamanya, sampai seorang kritikus sekaligus seorang Paus Sastra H.B Jassin menyebutkan Kehilangan Mestika adalah salah satu novel yang ia sangat sukai.
Diceritakan tokoh Hamidah yang menggambarkan sosok perempuan pekerja keras, tangguh juga rela memperjuangkan hak-hak perempuan dalam kesetaraan mendapatkan pendidikan. Aspek pendidikan yang dimiliki Hamidah mengubah pola pikirnya sehingga Hamidah mendapatkan peranannya dalam masyarakat. Ditambah pula kedudukan ayahnya yang agamis ia selalu memberikan berkhotbah dimesjid salah satu tokoh yang berpengaruh dalam masyarakat Mentok. Ayahnya salah satu orang yang berpikiran maju dalam mendidik keempat anaknya walau tanpa seorang ibu ayahnya mendorong anaknya untuk mengenyam pendidikan sesuai dengan keinginan masing-masing.
Sesudah menempuh pendidikan Hamidah memang sangatlah pandai dalam berpikir, ia terkadang selalu mengkritisi realita adat-istiadat dikampungnya yang mengatur segala macam aspek kehidupan begitu pun dalam beragama, pandang Hamidah yang menerbelakangi mereka beragama dikarnakan adat, adatlah yang mengatur didalamya bukan agamanya. Kutipan ini menjelaskan pemikirannya terhadap adat yang dianut oleh Masyarakat sekitarnya
Karena di negriku akulah pertama sekali membuka pintu pingitan bagi gadis-gadis, maka bermacamlah cacian yang sampai ketelinga kaum keluargaku. Orang negriku pada masa itu masih terlalu bodoh dan kuno. Tak tahu mereka membedakan yang mana dikatakan adat dan yang mana yang dikatan agama.[10]

Dalam latar belakang sosial pula terdapat beberapa pandangan masyarakat Minangkabau yang menganut adat-istiadat terhadap gaya hidup keluarga Hamidah yang memang dirasa sangatlah bertolak belang akan aturan yang di anutnya. Seperti yang terdapat dalam kutipan di bawah ini,
Karena bapakku tiap-tiap hari mengantar dan menjemputku kesekolah, ia dipandang orang kebelanda-belandaan, sebab menurut pengetahuan orang-orang itu hanya orang kulit putih saja yang beradat demikian.[11]

Dalam adat Minangkabau diceritakan bahwa kedudukan perempuan dalam kultur Minangkabau ini sangatlah penting hingga berbagai macam aturan-aturan yang sedemikian rupa yang mengatur kehidupannya di lingkungan tersebut. Hamidah menginginkan adanya kesetaraan gender dalam mendapatkan hak yang serupa sebagaimana seorang laki-laki yang didapat seperti halnya mendapat pendidikan. Lalu tercetuslah Hamidah mendirikan suatu kegitan yang sangatlah bermanfaat khususnya perempuan yang tak mendapatkan pendidikan dasar seperti membaca, menulis, dan menghitung dibantu oleh saudara misannya yang bernama Idrus dan Anwar. Namun respon dari kebanyakan masyarakat yang diterimanya begitu mengecewakan. Seperti yang terdapat dalam kutipan di bawah ini,
Mula-mula kuminta pertolongan misanku yang bernama Idrus. Dialah yang memimpinku segala hal. Aku mencari kawan kesana kemari. Kesudahnya dapatlah kedua orang, keduanya istri pegawai Bankatinwinning. Setelah minta izin kepada kepala negri, kami mulailah pekerjaan kami rumah perguruan kami dapat dengan percuma dari seorang yang menyetujui maksud kami, begitu pula alat pengajaran. Ketika kami mempropagandakan sekolah kami itu ke sana kemari, kesal benar rasa hati kami, sebab disana sini kami dengar orang mengatakan: “kami mau belajar, tetapi kami sudah kebesaran. dan kami bukan seperti saudara sekalian dapat berjalan kesanasini.” [12]

Begitu mekat kuatnya adat yang mengatur perempuan dengan sedemikian rupa, adat pingitan yang kental membuat perempuan disana terpenjara dalam rumah. Hamidah mengajak perempuan disana agar terbebas dari adat pingitan seperti ditanah Jawa perempuan disana memiliki hak sepenuhnya atas kebebasan mendapatkan pendidikan. Hamidah mendorong para kaum perempuan Mentok agar pemikiran mereka terbuka, namun apa yang diterimanya beginilah kutipannya.
Mendengar ini insaflah kami akan kesalahan kami. Kami lupa bahasa anak-anak perempuan di negri kami, manakala sudah besar sedikit, tak boleh lagi keluar rumah. Usahakan berjalan, memperlihatkan diri dari jalan saja tak boleh. Adat pingitan....! mereka mesti menunggu-menunggu saja dirumah sampai kepada waktunya dipinang orang. Bagi gadis-gadis di Palembang ada kerja tangan yang dikerjakan mereka yaitu menyulam dan menenun. Tetapi gadis-gadis di negriku bagaimana? Betul dahulu ada juga orang bertenun, tetapi karena ongkosnya terlalu mahal, tidaklah semua orang dapat melakukannya. Bagi mereka, seolah-olah kawin itulah maksud hidup yang terutama sekali. Bagi diriku pada waktu itu, bukanlah itu yang istimewa.[13]

            Dari sosok Hamidah yang tergambar dalam novel Kehilangan Mestika ini adalah sosok perempuan tangguh dimana latar belakang sosial yang selalu menjunjung tinggi nilai pingitan yang kuno yang melahirkan berbagai macam aturan yang membatasi setiap kegiatannya yang menimbulkan cacian serta hajatan atas dirinya. pemikiran dan perilaku sikap yang modern yang dimiliki Hamidah tergambar dalam novel Kehilangan Mestika ini. Tokoh Hamidah mengajarkan kita akan nilai sosial solidaritas yang tinggi terhadap sesama perempuan dimana sosok perempuan itu memiliki suatu peranan yang kuat bagi lingkungan masyarakat akan terlahirnya bangsa yang maju.





Review 5

Perbandingan Tokoh Antara Guru Isa dan Hazil  pada Novel Jalan Tak Ada Ujung karya Mochtar Lubis

            Novel Jalan Tak Ada Ujung karya Mochtar Lubis ini terbitan pertama pada tahun 1952. Mochtar Lubis lahir pada 7 Maret 1922 di Padang. Moctar Lubis adalah seorang Wartawan yang aktif pada zamanya ia mendirikan Kantor Berita ‘Antara’, lalu memimpin di Harian Indonesia Raya yang memang tidak di izinkan terbit, ia mendirikan majalah sastra Horison bersama H.B Jassin, Taufik Ismail, Arif Budiman, Goenawan Mohammad dan lain-lain. pada masa Orde Lama waktu pemerintanhan rezim Soekarno ia di jebloskan kepenjara, di dalam penjara hampir sembilan tahun lamanya dan baru di bebaskan pada tahun 1966. Ia Banyak melahirkan karya sastra seperti Novel dan cerpen-cerpennya. Mochtar Lubis selalu mengangkat persolan  kritik sosial sebagai cerminan sistuasi dan kondisi pada era zamanya.
            Mengenai cerita novel Jalan Tak ada Ujung ini mengangkat tema pada masa perjuangan, menggambarkan tokoh utama yaitu Guru Isa yang mengidap impotensi ia juga hidup dalam ketakutan yang berlebih terhadap kekerasan. Sifat Guru Isa bertolak belakang dengan tokoh Hazil ia sosok yang pemberani dan ikut berpartisipasi melawan penjajah Belanda,dari kekurangan Guru Isa tersebut disisi lain ia tetap berusaha untuk memperjuangkan kemerdekaan hingga ia mampu melumpuhkan rasa ketakutannya tersebut.
            Guru Isa menikah dengan Fatimah ia tak dikaruniai anak dikarnakan Guru Isa mengidap impoten, di ceritakan pula konflik batin Guru Isa atas nasib pernikahannya tanpa seks. Dihadirkan Fatimah sosok yang dapat didefinisikan seakan-akan ia adalah perempuan yang haus akan kebutuhan seks dalam artian yang negatif, konflik permasalahan yang timbul seakan-akan tampak wajar terjadi karena Guru Isa, Fatimah melakukan perselingkukan dengan Hazil juga melakukan hubungan intim antara mereka berdua. Kebutuhan seksual Fatimah tidak ditolak ataupun dikutuk karna pernikahannya dengan Guru Isa yang tidak memuaskan sehingga timbul ketidak cocokan antara suami dan istri. Perempuan tidak harus selalu setia pada satu pasangan saja walau sudah menikah dan menjadi seorang istri, Fatimah dapat menempatkan dirinya dalam posisi yang benar akan suatu norma yang berlaku bagi kaum perempuan.
Norma boleh dilanggar sampai taraf tertentu karena revolusi menciptakan kondisi dimana orang diperbolehkan melakukan apa yang tidak diizinkan dalam keadaan ”normal”.[14]
Fatimah menyikapi impoten Guru Isa ini dengan emosi yang campur aduk dari rasa kecewa, kesal, malu, malu tak memiliki anak, hingga pada suatu ketika mereka memutuskan untuk mengadopsi anak namanya Salim, hadirnya Salim dalam keluarga mereka membuktikan ketidak jantanan Guru Isa.
Guru Isa Hidup dalam ketakutan yang berlebih secara psikologi ia selalu terbayang akan kejadian-kejadian yang membuatnya menciut seketika ketakutan demi ketakutan yang menghinggapinya tak bisa terkendali. bayang akan darah, pukulan, suara gemuruh pistol dan serdadu-serdadu Belanda yang menyerang. pada kejadian itu berlangsung Guru Isa  tak dapat berbuat apa-apa, tak ada tindakan membela diri atau kembali menyerang lawannya ia hanya bersembunyi dan membungkuk itu saja yang dilakukannya ketika musuh menyerang. Seperti dalam kutipan dibawah ini.
Isa menutup mukanya dengan kedua belah tangannya, dan mengarang perlahan-lahan. Dia tidak tahu. Tapi apa yang dirasanya sekarang ialah reaksi yang lambat yang sekarang timbul dari perasaan ketakutannya yang tertekan tadi. Sekarang keluar semuanya dalam bentuk-bentuk yang lain. Banyak yang ditakutinya timbul. Hari-hari depan yang kabur dan menakutkan. Keselamatan istri dan anaknya. Penghidupan yang semakin mahal. Dan gaji yang tidak cukup. Hutang pada warung yang sudah dua bulan tidak dibayar. Sewa rumah yang sudah dihutang tiga bulan. Perhiasan istrinya di pajak gadai.[15]

Kehadiran tokoh Hazil sebagai perbandingan tokoh, ia adalah sosok yang pemberani memperjuangakan kemerdekaan, dia adalah sosok pemuda yang tangguh semangatnya menyala-nyala dengan sepucuk pistol ia hadir sebagai pejuang yang melawan para penjajah. pada suatu ketika ia dipertemukan dengan Fatimah sebagai Istri Guru Isa pertemuan keduanya membawa dosa dan perzinahan diceritakan ia bercinta dengan istri Guru Isa pada saat Guru Isa jatuh sakit. hingga pada suatu ketika Guru Isa mendapati Bukti bahwa istrinya berselingkuh dengan Hazil. Hadirnya Hazil dalam rumah tangga Guru Isa membuat kedudukannya sebagai suami yang lemah dimata seorang istrinya.
Pertemuan yang menyatukan tokoh Guru Isa dan Hazil yaitu hanya dengan musik. keduanya menyukai musik satu persamaan yang lekat akan diri mereka masing-masing. Walau Guru Isa adalah sosok laki-laki yang penakut dan Hazil adalah sosok laki-laki yang pemberani dengan musik mereka dapat berdampingan. Seperti dalam kutipan dibawah ini pembicaraan Guru Isa pada hazil
“Gesekan biolamu, meskipun belum lancar dan mahir, mengandung tanaga” kata Guru Isa kepada Hazil memuji.[16]

Pada suatu ketika ada kronologis yang menceritakan tokoh Hazil dan Guru Isa terlibat dalam sebuah serangan, mereka berdua ikut memperjuangkan kemerdekaan namun apa yang terjadi, mereka sama-sama ditahan dengan luka amat parah, menurut Guru Isa pada itulah momen yang paling ditakuti Guru Isa. Pada akhirnya Guru Isa merasa bahwa ia memiliki alasan yang nyata untuk merasa takut. Namun kenyataan tersebut membuatnya tidak seburuk yang ia bayangkan ketakutan demi ketakutan Guru Isa dapat dikendalikan dengan baik. Suatu ketika ia menyaksikan Hazil sebagai sosok yang pemberani itu tumbang, kepercayaaan dirinya lenyap Hazil tak dapat melumpuhkan -rlebih yang dialaminya membuat Guru Isa semakin yakin akan rasa percaya dirinya dan pada akhir cerita Guru Isalah yang pemberani menghadapi semua ketakuatannya. novel ini selalu menceritakan tentang kompetisi dan persaingan sosok laki-laki dalam hal keberanian maupun sesuklitas. Terlihat jelas dari kutipan dibawah ini bahwa tokoh Guru Isa mendapat kepercayaan dirinya setelah melihat Hazil tumbang.
Guru Isa masih melihat terus padanya. Perlahan-lahan, amat lambat sekali dia mengerti kata-kata yang ditangiskan Hazil, yang menjelaskan di sela-sela tangis dan isak-isak Hazil – aku bersalah, aku berkhianat, aku tidak tahan sisaan mereka-- tidak tahan siksaan mereka—biar aku mati sekarang – aku tebus pengkhianatanku—biar aku mati – ampuni aku – ampuni aku. Dan melihat Hazil demikian, Hazil perwira yang bersemangat, yang berani, selama ini, baru seminggu dalam tahanan mereka telah turun hancur menjadi seorang yang harus dikasihani, yang menangis-nangis meminta-minta ampun; sesuatu perasaan ganjil timbul dalam hati Guru Isa.[17]
           
Novel Jalan Tak Ada Ujung sangat jelas menggambarkan bagaimana keadan pasca kemerdekaan. Banayk pesan yang tersirat dalam novel tersebut, salah satunya sebuah pesan tentang kesetia kawanan yang terjalin antara guru Isa dan Hazil. Mereka berjuang bersama-sama untuk melawan serdadu-serdadu Belanda. Juga terdapat pesan yang tersirat oleh tokoh Guru Isa yang selalu sabar dalam menjalani kehidupan yang berat pada era perjuangan.



DAFTAR PUSTAKA

K.S Yudiono.2010.Pengantar Sejarah Sastra Indonesia. (Jakarta: PT Grasindo)
Marco Kartodikromo Mas.2015.Student Hidjo (Jakarta: Balai Pustaka)
Moeis Abdoel.2002. Salah Asuhan, (Jakarta: Balai Pustaka)
Pane Armijn. 2012.Belenggu. (Jakarta: Dian Rakyat)
Hamidah. 2011.Kehilangan Mestika. (Jakarta: Balai Pustaka)
Hellwid Tineke. 2003.In The Shadow Of Change. (Depok : Desantara)
Lubis Mochtar.1992. Jalan Tak Ada Ujung. (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia)



[1] Yudiono K.S, Pengantar Sejarah Sastra Indonesia (Jakarta: PT Grasindo,2010), hlm. 109-110
[2] Mas Marco Kartodikromo, Student Hidjo, (Jakarta: Balai Pustaka,2015), hlm. 43
[3] Ibid, hlm. 81

[4] Abdoel Moeis, Salah Asuhan, (Jakarta: Balai Pustaka,2002), hlm. 67

[5] Ibid, hlm. 62
[6] Ibid, hlm. 83
[7] Ibid, hlm. 132-133
[8] Armijn Pane, Belenggu, (Jakarta: Dian Rakyat,2012), hlm.16
[9] Ibid. hlm. 144
[10] Hamidah, Kehilangan Mestika, (Jakarta: Balai Pustaka,2011), hlm. 18
[11] Ibid, hlm.19
[12] Ibid, hlm.48-49
[13] Ibid, hlm.49
[14] Tineke Hellwid,in the Shadow of Change, (Depok : Desantara, 2003), hlm. 78
[15] Mochtar Lubis, Jalan Tak Ada Ujung, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia ,1992), hlm. 18
[16] Ibid.37
[17] Ibid. 158

Tidak ada komentar:

Posting Komentar