Review
1
Cinta Terlarang Hidjo dan Betje dalam Novel Student Hidjo Karya Mas Marco
Kartodikromo.
Novel
Student Hidjo karya Mas Marco
Kartodikromo adalah novel yang dibuat ketika ia dipenjara oleh pemerintah
kolonialisme Belanda pada tahun 1918 dan pertama di siarkan lewat surat kabar
Sinar Hindia pada tahun tersebut, kemudian di bukukan tahun 1919 oleh NV
Boekhandel en Drukeriij Masman dan Stroink Semarang. Novel Student Hidjo dipandang sebagai novel perintis sastra Indonesia
karena telah menyuarakan semangat kebangsaan dan perlawanan terhadap
kolonialisme.[1]
Cerita yang dimunculkan mengenai kisah cinta yang amat rumit dari para
tokoh-tokohnya yaitu Hidjo, Biroe, Woengoe, Willem Walter, Wardoyo, Betje.
Pada
awal cerita dikisahkan seorang laki-laki yang bernama Hidjo yang memiliki sikap
pendiam, ia sangat menyukai buku diwaktu senggangnya ia selalu meluangkan waktu
untuk membaca. Hidjo rencananya akan melanjutkan sekolahnya ke Negri Belanda
sebagai seorang insinyur oleh bapaknya namun ibunya merasa berat hati akan
kepergian anak semata wayangnya tersebut karena ibunya tahu pergaulan disana
itu bebas ditambah pula ia sudah bertunangan dengan Biroe jadi wajarlah seorang
ibu menghawatirkan akan nasib anaknya disana.
Di
negri Belanda Hidjo tinggal bersama teman
gurunya yang bernama Piet ia memiliki dua orang anak perempuan anak sulungnya
bernama Betje dan adiknya Marie. Hidjo menempati kamar milik Betje. Pada awal
pertemuan Betje menaruh hati pada Hidjo. Seperti dalam kutipan berikut.
“Ah, kamu suka sekali masakan jawa!” jawab
Betje dan tertawa sambil matanya yang putih itu melihat Hidjo dengan tajam.[2]
Betje selalu
mendekati Hidjo ia sangat mencintai Hidjo, Hidjo pun menyadari Betje memiliki
perasaan terhadapnya. kedekatan mereka semakin hari semakin dekat. Betje selalu
mengajak Hidjo melacong untuk mengenalkan Negri Belanda, Hidjo pun tak menolak
ajakan Betje tersebut. Pada suatu ketika Hidjo melihat opera Faust, opera
tersebut sangat di sukai oleh masyarakat Belanda, dari opera tersebut di
ceritakan tokoh Faus yang seakan-akan Hidjo merasa tersindir karena Faust memiliki
kesaman terhadap dirinya. Lama kelamaan Perubahan watak Hidjo telah nampak
awalnya karena pengaruh cerita Faust, Perubahan watak Hidjo pun dirasakan oleh
Betje, Betje merasa senang akan perubahan perilaku Hidjo tersebut.
Pada suatu
ketika Betje mengajak Hidjo untuk menonton Lili Green ia tak tahu apa itu Lili
Green, Betje membujuk Hidjo untuk menemaninya melihat Lili Green hanya mereka
berdua saja, Lalu didapatinya izin pada ayahnya untuk pergi bersama Hidjo
melihat Lili Green. Pukul setengah delapan malam Betje dan Hidjo pergi ke
Prinsesse Schouwburg hendak melihat Lili Green. Pukul sembilan layar dibuka
tanda Lili Geen dimulai Hidjo tak pernah melihat Lili Green sebelumnya, tak
disangka-sangka saat melihat Lili Green ia merasa hatinya berdebar-debar saat
melihat enam orang perempuan telanjang, yang hanya memakai kain sutra yang amat
tipis hingga terlihat lekuk tubuhnya yang jelas menunjukan kebolehannya
menari-nari dan berdansa.
Waktu menunjukan
pukul setengah sebalas pertunjukan itu berhenti nanti akan di lanjut kembali.
Namun Hidjo rasa mereka harus pulang, namun Betje mengajaknya melancong
kesebuah tempat karna ia rasa waktunya terlalu singkat bersama Hidjo, ia ingin
lebih lama bersama Hidjo. diturutilah permintaan Betje pada sebuah kutipan
dibawah menunjukan Betje menggoda Hidjo mengajaknya kesebuah Hotel.
Dua
orang muda-mudi. Seorang perjaka bangsa Jawa dan gadis Eropa, terus melancong
dengan jalan kaki. Dengan memaksa diri, Betje menggandeng tangan Hidjo.
Wajahnya didekat ketelinga Hidjo sambil berbisik-bisik yang tak bisa di dengar
oleh orang lain. Demikian pula Hidjo, dengan keberaniannya ia mau memenuhi
permintaan Betje.[3]
Betje mengajak Hidjo
ke sebuah hotel Scheveningen, sebenarnya hati Hidjo berdebar-debar saat mereka mulai
masuk kamar hotel sudah bisa diperkirakan apa yang akan mereka lakukan. Cinta
terlarang yang ia lakukan bersama dengan Betje saat itu ia lupa akan nasehat
ibunya, ia lupa akan seseorang yang ia cintai di tanah Jawa yang akan ia nikahi
suatu saat nanti.
Setelah kejadian
tersebut barulah Hidjo merasa sedih apabila teringat orang-orang yang
dikasihinya di tanah Jawa, ia pasti sangat mengecewakan terutama orang tua juga
tunangannya. Ia merasa bahwa dirinya harus menjaga jarak terhadap Betje ia
takut akan permasalah yang lebih parah terjadi.
Hidjo memutuskan
untuk pergi ke Amsterdam menumpang di sebuah hotel kecil, disana ia mencoba
memperbaiki diri menebus segala dosa-dosanya ditemani dengan kesunyian. Ia
dapat menenangkan dirinya dan selama itu ia berpuasa sebagai mana orang tuanya
ajarkan. Ia hanya memakan kentang, sayuran, ia tidak memakan danging ataupun
ikan. Badan Hidjo semakin kurus Ia merasa bahwa dirinya harus pulang ke tanah Jawa.
Dua minggu lamanya ia tinggal di Amsterdam dan ia bekerja banting tulang untuk
mengumpulkan uang sebagai bekal perjalanannya ke tanah Jawa. Selama kepergian
Hidjo ke Amsterdam Betje merasa sedih tak ada kehadiran Hidjo disampingnya.
Pada suatu
ketika Hidjo menerima surat dari ibunya yang meminta Hidjo untuk pulang
ke tanah Jawa mengurus perjodohannya dengan Biroe. Hidjo merasa berat
untuk memberitahu Betje akan kepergianya nanti ke tanah Jawa. Sebelum ia pulang
ketanah Jawa ia mengajak Betje pergi ke Amsterdam untuk sekedar berjalan-jalan.
Tibalah saatnya ia memberitahuan Betje rencana kepulangan Hidjo ke tanah Jawa.
Namun disisi lain Betje menyadari kehamilan atas hubunganya bersama Hidjo, ia
merasa ia harus ikut ketanah Jawa bersama Hidjo namun apa daya semua yang ia
harapakan harus terkubur dalam-dalam. Pilihan Betje satu-satunya pada saat itu
ialah harus menggugurkan kandungannya sebelum anak itu lahir tanpa seorang
ayah. Hidjo meninggalkan Betje dengan memberikan sebuah buku pos spaarbank yang
ditulisi namanya dan didalamnya ditaruh uang sebesarf. 1000,-. Lalu di akhir
cerita Hidjo menikah dengan Woengoe, Biroe dengan wardojo, dan Betje dengan
Walter. Mereka lalu hidup rukun dan bahagia.
Pada karya Mas
Marco Kartodikromo Student Hidjo
adalah karya sastra yang monumental. Marco juga selalu melahirkan novel
kontroversial yang mengundang reaksi keras dari masyarakat dizamannya. Pada
Novel Student Hidjo ini menunjukan
bahwa adanya pengaruh politik serta kolonialisme dalam diri Marco.
Review
2
Kedudukan Rafiah sebagai Istri Hanafi Novel Salah Asuhan karya Abdoel Moeis
Novel Salah Asuhan karya Abdoel Moeis ini
terbitan pertama pada tahun 1928. Abdoel Moeis lahir pada 3 Juni 1883 di Sungai
Puar, Bukit Tinggi, Sumatra Barat. Beliau Wafat pada 17 juni 1959. Abdoel Moeis
tak hanya seorang sastrawan, melaikan juga seorang wartawan dan pejuang di
zamanya. Latar belakang dari Abdoel Moeis seorang pejuang ia lahirlah novel
pada masa penjajahan Belanda sebelum Indonesia merdeka. Dalam cerita Salah Asuhan ini disinggung pula dari
beberapa tokoh yang memang bukan Pribumi melaikan dari bangsa Eropa yang
menjadikan ceritanya yang tak biasa.
Mengenai tokoh
Rafiah sebagai istri Hanafi yang memang dirasa sangatlah dramatis apa bila
diceritakan dalam novel tersebut, kedudukan Rapiah sebagai istri Hanafi
disetarakan dengan babu yang rendahan, pendidikan barat yang diresap penuh olah
Hanafi membuat hatinya sedingin bagai kristal es, Selain Rafiah, ibu Hanafi
sendiri dibuat sabar akan perilaku Hanafi menganggap semua keluarganya bodoh
adalah cara pelampiasan emosi yang selalu memuncak. Namun sifat sabar keduanya
yang mempererat hubungan antara istri Hanafi dan ibu mertua. Seperti yang
terdapat dalam kutipan di bawah ini yang tergambar sifat Rafiah yang penyabar.
“Rapiah
memang bersifat sabar. Asal engkau tidak menyia-nyiakan, sekadar engakau harik
dan bengisis saja, tentu ia takkan menghilangkan sabarnya, Hanafi! Sebutir
intan yang belum digosok sudah ibu sediakan untukmu, baiklah engkau percaya
pada ibumu.”[4]
Rafiah mempunyai
kedudukan dan perilaku yang cukup baik. Oleh karena itu ibu Hanafi menginginkan
perjodohan antara anaknya Hanafi dengan Rafiah bisa berujung pada pernikahan
yang sakinah. Namun apa daya Hanafi yang berwatak sombong dan keras kepala, ia
sebenarnya sama sekali tidak mencintai Rafiah karna ia lebih mencintai anak
dari Belanda namanya Corrie menurutnya Corrie adalah sosok perempuan
satu-satunya yang ia cintai. Namun diceritakan Corrie dilanda kebingungan akan
cintanya pada Hanafi karena Hanafi berasal dari pribumi yang mengakibatkan
ketidak sederajatan. Ibunya selalu menceritakan tentang sosok Rafiah. Seperti
yang terdapat dalam kutipan di bawah ini
“Yang
paling ibu sukai, sudahlah ibu katakan dahulu. Tidak lain hanyalah Rapiah, anak
kaka kandung ibu. Yang seibu sebapa dengan ibu, hanya Sultan Batuah, guru
kepala di Bonjol. Bukan sebuah-sebuah kebaikannya, jika engkau suka mengulangi
Rapiah. Pertama, adalah menurut sepanjang adat, bila engkau mengulangi anak
mamakmu. Kedua rupa Rapiah pun dikatakan tidak buruk. Ketiga sekolahnya cukup,
tamat HIS. Keempat ia diasuh baik-baik oleh orangnya. Lepas dari sekolah ia
dipingit lalu diajarkan ke dapur, menjahit dan merenda. Kelima parangainya
baik, hati tulus dan sabar. Keenam- ah banyak lagi kebaikannya, Hanafi. Ibu
kenal anak itu semula ia lahir kedunia. Tapi yang sangat berarti bagi ibu,
sangat susah ibu memikirkannya, ialah karena engkau sudah lama kami
pertunangkan dengan Rafiah: kami sudah bertimbang tanda. Dan itulah sebabnya
maka mamakmu, Sultan Batuah, suka merugi beratus sampai ribu buat menyekolahkan
engkau. Bagaimanalah daya ibu sekarang, karena pendapatan engkau tentang
beristri secara itu!”62[5]
Pandangan Hanafi
kepada Rafiah tak urungnya berubah sama sekali hingga saat mereka menikah
sampai mempunyai anak sikap jelek Hanafi saja melekat mengangap istri pemberian
ibunya itu yang kampungan dan juga bodoh Dalam bahretai rumah tangga Hanafi dan
Rafiah, Rafiah sering diperlakukan tidak baik oleh Hanafi berkali-kali
perlakuan Hanafi yang membuatnya terpukul atas perlakukannya yang dirasa
melampaui batas namun dari sifat penyabar Rafiahlah yang membuatnya kuat akan
menghadapi sikap suaminya Hanafi. Seperti yang terdapat dalam kutipan di bawah
ini
Kemarahan
Hanafi kepada anaknya, yang katanya sudah dimasuki setan dan kepada si Buyung
yang masih belum datang, serta malunya kepada kawan-kawannya melihat istrinya
datang, yang tidak ubahnya rupanya dengan koki, semuanya sudah tertumpah ke
atas kepada Rapiah.[6]
Sifat Rafiah
sabar akan perlakuan Hanafi tetap terus kukuh dalam batinnya sebetulnya ibu
Hanafi tak salah memilih 2Rafiah sebagai istri, namun pada kenyataannya
Hanafilah yang tak sesuai dengan Rafiah menjodohkan keudnya adalah kesalahan
yang fatal, Hanafi sama sekali tidak mencintai Rafiah. Hingga pada suatu ketika
Rafiah dibelenggu oleh keharusannya menjaga serta mendidik anaknya. Namun
Hanafi tak memikirkannya sama sekali, tujuan tetap sama seperti dulu yaitu
bahagia bersama Corrie gadis bangsa Eropa. Pada saat itu Hanafi sedang berada
di kota Betawi bertemulah ia dengan gadis yang bernama Corrie itu. Rafiah
ditinggal kawin oleh Hanafi, Rafiah pun menjanda diembannya semua tanggung
jawab untuk membesarkan anaknya sendiri. Ibu mertuanya mengenjurkan untuk tetap
bersamanya, kasih sayang ibu mertuanya sangatlah diterima baik oleh Rafiah
sudah berbagai macam permasalan yang mereka berdua hadapi hingga kedekatannya
sudah seperti ibu dan anak. Seperti yang terdapat dalam kutipan di bawah ini
Lamalah
kedua perempuan itu duduk beramah-ramahan. Segala kesedihan sudah
berangsur-angsur pindah kepada sifat bertawakal dan iman. Masing-masing
menerima kadarnya dengan hati tetap dan penuh keyakinan, bahwa meraka ada
berkewajiban besar terhadap anak kecil, syafei, yang tidak berdosa dalam
perbuatan ayahnya yang serupa itu.[7]
Sosok Rafiah
yang sangat penyabar akan segala macam permasalahan yang ia hadapi tak ubahnya
membuatnya sabar akan perlakuan Hanafi yang begitu keras padanya, Rafiah harus
mengikuti kehendak suaminya apa pun itu, namun ia sama sekali tidak diberi hak
untuk menuntut cinta kasihnya selayaknya suami berikan pada seorang istri,
sifat Rafiah yang penyabar itulah yang membuat ibu Hanafi menyayangi Rafiah
seperti anak kandungnya.
Review 3
Emansipasi
Tini sebagai seorang Istri pada Novel Belenggu
karya Armijn Pane
Armijn Pane
terkenal dengan salah satu novelnya yang berjudul Belenggu yang diterbitka tahun 1940. Armijn termasuk kedalam
angkatan Punjangga baru. Novel Belenggu
mendapat tanggapan dari berbagai pihak
bersifat pro dan kontra pada zaman itu. Novel Belenggu ini pernah ditolak oleh salah satu penerbit pustaka karna
ramai diperbincangkan, pada akhirnya novel ini menjadi salah satu roman klasik
modern Indonesia yang mesti wajib dibaca. Pemikiran-permikirannya dalam
karyanya yang di kritik oleh Sultan Takdir Alisjahbana bahwa sebenarnya Armijn
Pane lebih bersifat sebagai seorang penyair dibanding saudara kandungnya
Sanoesi Pane. Dalam novel Belenggu
ini terdapat beberapa makna yang tersirat didalamnya. Tema yang diangakat pada
novel Belenggu ini tentang kehidupan
tokoh yang tergolong dalam kelas elit.
Belenggu
menceritakan tentang tokoh bernama
Sukartono yang menikah dengan seorang perempuan yang bernama Sumartini.
Sesungguhnya mereka menikah tanpa didasari rasa cinta mereka menikah karena
memiliki kepentingan masing-masing. Alasan Sukartono menikahi Sumartini karena
ia memiliki paras cantik dan juga ia adalah sosok perempuan yang cerdas. Lalu
alasan Sumarini menikahi Sukartono dikarnakan hanya sekedar ingin melupakan
masa lalunya. Konfik batin cinta berantai yang terjadi antara tokoh Tono dan Tini serta dihadirkan
pula nanti tokoh Yah sebagai perempuan yang mencintai Tono namun dengan cara
perspektif yang berbeda dengan Tini.
Pada awal cerita
dikisahkan seorang tokoh Sukartono adalah
seorang dokter ia bekerja sangat displin tanpa pandang siapa pasien
tersebut, dia juga seorang dokter yang dermawan ia menjadi dokter bukan hanya
sebagai tumpuan hidupnya, namun ia juga selalu menolong mengobati pasiennya
yang sakit dengan Cuma-Cuma tanpa bayaran sepeser pun.
Dulu Tini
sebelum menikah dengan Tono, Tini adalah seorang perempuan yang sangat populer
dia senang perpesta-pesta sampai-sampai ia dijuluki sebagai Ratu Pesta. Dia
memiliki prinsip yang kuat, ia ingin mendapat suatu kebebasan hak sepenuhnya
atas dirinya sendiri dalam menjalani kehidupannya. Tini Mencoba memiliki perspektif mengenai kehidupan
rumah tangganya, ia memiliki rasa kemandirian dan kebebasan dalam menjalani
sebuah pernikahan dengan Tono.
Tono yang sibuk
sebagai dokter ternyata menjadi lalai akan kewajibanya sebagai suami, sedangkan
Tini yang telah bergiat sendiri dalam perjuangan emansipasi pun menjadi seorang
yang sibuk dengan dirinya sendiri. akibatnya rumah tangga mereka terbelah oleh
rasa egois masing masing, padahal sebenarnya mereka sama-sama mendambakan rasa kasih sayang
selayaknya suami dan istri.
Tono yang sibuk
bekerja lupa akan rasa kasih sayang serta perhatian dari seseorang yang ia
kasihi, lalu dihadirkan tokoh Yah ia memiliki sifat yang berbeda dengan Tini ia
adalah sosok perempuan yang perduli serta perhatian terhadap orang yang
dikasihinya. Pada saat itu kondisi batin Tono merasakan kasih sayang Yah
melebihi kasih sayang istrinya sendiri
terhadap dirinya. mereka pun sering bertemu yang menciptakan sebuah
keharmonisan diantara keduanya. Sesungguhnya Tini sangat berharap Tono selalu
perduli juga perhatian padanya namun ia menyayangi Tono dengan cara yang
berbeda dibading Yah. Terdapat Kutipan yang menggambarkan rasa sayang Tini
kepada Tono .
Apa
katanya tadi? tentang perempuan sekarang? Perempuan sekarang hendak sama haknya
dengan kaum laki-laki. Apa yang hendak disamakan. Hak perempuan ialah mengurus
anak suaminya, mengurus rumah tangga. Perempuan sekarang Cuma meminta hak saja
pandai. Kalau suaminya pulang dari kerja, benar dia suka menyambutnya, tetapi
mengajak suaminya duduk, biar ditanggalkannya sepatunya. Tak tahukah perempuan
sekarang, kalau dia bersimpuah dihadapan suaminya akan menanggalkan sepatunya,
bukankah itu tanda kasih, tanda setia? Apa lagi hak perempuan, lain dari
memberi hati pada laki-laki.[8]
Pada suatu
ketika Tini tahu suaminya Tono tengah
berselingkuh dengan perempuan penyanyi kroncong. bergejolak dalam hatinya ia
merasa marah dan cemburu. Lalu Ia pergi mencari perempuan simpanan suaminya
itu. Pertemuan Tini dengan Yah memberikan kesan yang berbeda. Pada awalnya Tini
Memarahi Yah dengan mengata-ngatainya sebagai perempuan perebut suami orang, Walau
begitupun Yah tahu tentang masa lalu Tini yang membuat Tini terkejut tak menyangka bahwa Yah tahu masa
lalunya Tini. Yah yang memang memiliki
propesi sebagai wanita pelacur namun dari pernyataannya membuat Tini merasa
bahwa Yah memiliki kesamaan terhadap dirinya. Pada akhirnya Tini merelakan Yah
bersama dengan Tono, namun sebenarnya Yah akan memutuskan untuk meninggalkan Tono
Juga. Tini dan Yah mencoba untuk saling berdamai mereka berjabat tangan dan
saling berpandangan.
Tini merasa
terperangkap oleh norma-norma yang
dibebankan kepadanya sebagai seorang istri. Hasratnya untuk merdeka dan
statusnya sebagai seorang istri berperang dalam dirinya sendiri, dia memutuskan
untuk mengakhiri pernikahannya yang tidak bahagia. dalam kutipan dibawah ini
keputusan Tini yang membuatnya terbebas dari rasa Belenggu.
Di dalam
Hati Tini tenang, karena sudah mengandung keputusan. Haru biru yang selama ini dalam hatinya sudah hilang sama sekali.
Belenggu yang sebagai mengikat semangatnya yang terlepas. Dihadapan mata semangatnya
dengan terang memajangkan jalan yang akan ditempuhnya.[9]
Tini dan Yah
menempuh jalan masing-masing, namun masa depan mereka saling terkait karena
faktanya mereka mengambil jalur yang sama.Armijn Pane berbeda dengan
pengarang-pengarang yang sejamannya yang cenderung memihak kepada salah satu
tokoh saja atau mematikan salah satu tokohnya. Armijn pane mengakhiri cerita Belenggu
dengan cara yang adil bagi ketiga tokoh utama. Mereka terpisah menjalani hidup
masing-masing terlepas dari rasa Belenggu. Makna yang mendalam di setiap
konflik yang dimunculkan. Mengkritik sosial yang tajam dalam kisah ini bisa
menjadi sebuah pelajaran bagi generasi muda dalam menjalani kehidupan yang
terhegemoni oleh sebuah sistem.
Review
4
Perspektif
Hamidah Mengenai Adat-Istidat pada Novel Kehilangan
Mestika karya Hamidah
Novel Kehilangan Mestika karya Hamidah yang
memiliki nama asli Fatimah Hasan Delais
ini terbitan pertama kali pada tahun 1935, dan pada cetakan kelima dan
keenam novel Kehilangan Mestika
dicetak ulang sebanyak 10.000 eksemplar. Berdasarkan data yang diperoleh novel Kehilangan Mestika ini salah satu novel
yang sangat diminati dizamanya, sampai seorang kritikus sekaligus seorang Paus
Sastra H.B Jassin menyebutkan Kehilangan
Mestika adalah salah satu novel yang ia sangat sukai.
Diceritakan
tokoh Hamidah yang menggambarkan sosok perempuan pekerja keras, tangguh juga
rela memperjuangkan hak-hak perempuan dalam kesetaraan mendapatkan pendidikan.
Aspek pendidikan yang dimiliki Hamidah mengubah pola pikirnya sehingga Hamidah
mendapatkan peranannya dalam masyarakat. Ditambah pula kedudukan ayahnya yang
agamis ia selalu memberikan berkhotbah dimesjid salah satu tokoh yang
berpengaruh dalam masyarakat Mentok. Ayahnya salah satu orang yang berpikiran
maju dalam mendidik keempat anaknya walau tanpa seorang ibu ayahnya mendorong
anaknya untuk mengenyam pendidikan sesuai dengan keinginan masing-masing.
Sesudah menempuh
pendidikan Hamidah memang sangatlah pandai dalam berpikir, ia terkadang selalu
mengkritisi realita adat-istiadat dikampungnya yang mengatur segala macam aspek
kehidupan begitu pun dalam beragama, pandang Hamidah yang menerbelakangi mereka
beragama dikarnakan adat, adatlah yang mengatur didalamya bukan agamanya.
Kutipan ini menjelaskan pemikirannya terhadap adat yang dianut oleh Masyarakat
sekitarnya
Karena
di negriku akulah pertama sekali membuka pintu pingitan bagi gadis-gadis, maka
bermacamlah cacian yang sampai ketelinga kaum keluargaku. Orang negriku pada
masa itu masih terlalu bodoh dan kuno. Tak tahu mereka membedakan yang mana
dikatakan adat dan yang mana yang dikatan agama.[10]
Dalam latar
belakang sosial pula terdapat beberapa pandangan masyarakat Minangkabau yang
menganut adat-istiadat terhadap gaya hidup keluarga Hamidah yang memang dirasa
sangatlah bertolak belang akan aturan yang di anutnya. Seperti yang terdapat
dalam kutipan di bawah ini,
Karena
bapakku tiap-tiap hari mengantar dan menjemputku kesekolah, ia dipandang orang
kebelanda-belandaan, sebab menurut pengetahuan orang-orang itu hanya orang
kulit putih saja yang beradat demikian.[11]
Dalam adat
Minangkabau diceritakan bahwa kedudukan perempuan dalam kultur Minangkabau ini
sangatlah penting hingga berbagai macam aturan-aturan yang sedemikian rupa yang
mengatur kehidupannya di lingkungan tersebut. Hamidah menginginkan adanya
kesetaraan gender dalam mendapatkan hak yang serupa sebagaimana seorang
laki-laki yang didapat seperti halnya mendapat pendidikan. Lalu tercetuslah
Hamidah mendirikan suatu kegitan yang sangatlah bermanfaat khususnya perempuan
yang tak mendapatkan pendidikan dasar seperti membaca, menulis, dan menghitung
dibantu oleh saudara misannya yang bernama Idrus dan Anwar. Namun respon dari
kebanyakan masyarakat yang diterimanya begitu mengecewakan. Seperti yang
terdapat dalam kutipan di bawah ini,
Mula-mula
kuminta pertolongan misanku yang bernama Idrus. Dialah yang memimpinku segala
hal. Aku mencari kawan kesana kemari. Kesudahnya dapatlah kedua orang, keduanya
istri pegawai Bankatinwinning. Setelah minta izin kepada kepala negri, kami
mulailah pekerjaan kami rumah perguruan kami dapat dengan percuma dari seorang
yang menyetujui maksud kami, begitu pula alat pengajaran. Ketika kami
mempropagandakan sekolah kami itu ke sana kemari, kesal benar rasa hati kami,
sebab disana sini kami dengar orang mengatakan: “kami mau belajar, tetapi kami
sudah kebesaran. dan kami bukan seperti saudara sekalian dapat berjalan
kesanasini.” [12]
Begitu mekat
kuatnya adat yang mengatur perempuan dengan sedemikian rupa, adat pingitan yang
kental membuat perempuan disana terpenjara dalam rumah. Hamidah mengajak
perempuan disana agar terbebas dari adat pingitan seperti ditanah Jawa
perempuan disana memiliki hak sepenuhnya atas kebebasan mendapatkan pendidikan.
Hamidah mendorong para kaum perempuan Mentok agar pemikiran mereka terbuka,
namun apa yang diterimanya beginilah kutipannya.
Mendengar
ini insaflah kami akan kesalahan kami. Kami lupa bahasa anak-anak perempuan di
negri kami, manakala sudah besar sedikit, tak boleh lagi keluar rumah. Usahakan
berjalan, memperlihatkan diri dari jalan saja tak boleh. Adat pingitan....!
mereka mesti menunggu-menunggu saja dirumah sampai kepada waktunya dipinang
orang. Bagi gadis-gadis di Palembang ada kerja tangan yang dikerjakan mereka
yaitu menyulam dan menenun. Tetapi gadis-gadis di negriku bagaimana? Betul
dahulu ada juga orang bertenun, tetapi karena ongkosnya terlalu mahal, tidaklah
semua orang dapat melakukannya. Bagi mereka, seolah-olah kawin itulah maksud
hidup yang terutama sekali. Bagi diriku pada waktu itu, bukanlah itu yang
istimewa.[13]
Dari
sosok Hamidah yang tergambar dalam novel Kehilangan
Mestika ini adalah sosok perempuan tangguh dimana latar belakang sosial
yang selalu menjunjung tinggi nilai pingitan yang kuno yang melahirkan berbagai
macam aturan yang membatasi setiap kegiatannya yang menimbulkan cacian serta
hajatan atas dirinya. pemikiran dan perilaku sikap yang modern yang dimiliki
Hamidah tergambar dalam novel Kehilangan
Mestika ini. Tokoh Hamidah
mengajarkan kita akan nilai sosial solidaritas yang tinggi terhadap sesama
perempuan dimana sosok perempuan itu memiliki suatu peranan yang kuat bagi
lingkungan masyarakat akan terlahirnya bangsa yang maju.
Review
5
Perbandingan Tokoh Antara Guru Isa dan Hazil pada Novel Jalan Tak Ada Ujung karya Mochtar Lubis
Novel Jalan Tak Ada Ujung karya Mochtar Lubis ini terbitan pertama pada tahun
1952. Mochtar Lubis lahir pada 7 Maret 1922 di Padang. Moctar Lubis adalah
seorang Wartawan yang aktif pada zamanya ia mendirikan Kantor Berita ‘Antara’,
lalu memimpin di Harian Indonesia Raya
yang memang tidak di izinkan terbit, ia mendirikan majalah sastra Horison
bersama H.B Jassin, Taufik Ismail, Arif Budiman, Goenawan Mohammad dan
lain-lain. pada masa Orde Lama waktu pemerintanhan rezim Soekarno ia di
jebloskan kepenjara, di dalam penjara hampir sembilan tahun lamanya dan baru di
bebaskan pada tahun 1966. Ia Banyak melahirkan karya sastra seperti Novel dan
cerpen-cerpennya. Mochtar Lubis selalu mengangkat persolan kritik sosial sebagai cerminan sistuasi dan
kondisi pada era zamanya.
Mengenai
cerita novel Jalan Tak ada Ujung ini
mengangkat tema pada masa perjuangan, menggambarkan tokoh utama yaitu Guru Isa
yang mengidap impotensi ia juga hidup dalam ketakutan yang berlebih terhadap
kekerasan. Sifat Guru Isa bertolak belakang dengan tokoh Hazil ia sosok yang
pemberani dan ikut berpartisipasi melawan penjajah Belanda,dari kekurangan Guru
Isa tersebut disisi lain ia tetap berusaha untuk memperjuangkan kemerdekaan
hingga ia mampu melumpuhkan rasa ketakutannya tersebut.
Guru
Isa menikah dengan Fatimah ia tak dikaruniai anak dikarnakan Guru Isa mengidap
impoten, di ceritakan pula konflik batin Guru Isa atas nasib pernikahannya
tanpa seks. Dihadirkan Fatimah sosok yang dapat didefinisikan seakan-akan ia
adalah perempuan yang haus akan kebutuhan seks dalam artian yang negatif,
konflik permasalahan yang timbul seakan-akan tampak wajar terjadi karena Guru
Isa, Fatimah melakukan perselingkukan dengan Hazil juga melakukan hubungan
intim antara mereka berdua. Kebutuhan seksual Fatimah tidak ditolak ataupun
dikutuk karna pernikahannya dengan Guru Isa yang tidak memuaskan sehingga
timbul ketidak cocokan antara suami dan istri. Perempuan tidak harus selalu
setia pada satu pasangan saja walau sudah menikah dan menjadi seorang istri,
Fatimah dapat menempatkan dirinya dalam posisi yang benar akan suatu norma yang
berlaku bagi kaum perempuan.
Norma boleh
dilanggar sampai taraf tertentu karena revolusi menciptakan kondisi dimana
orang diperbolehkan melakukan apa yang tidak diizinkan dalam keadaan ”normal”.[14]
Fatimah
menyikapi impoten Guru Isa ini dengan emosi yang campur aduk dari rasa kecewa,
kesal, malu, malu tak memiliki anak, hingga pada suatu ketika mereka memutuskan
untuk mengadopsi anak namanya Salim, hadirnya Salim dalam keluarga mereka
membuktikan ketidak jantanan Guru Isa.
Guru Isa Hidup
dalam ketakutan yang berlebih secara psikologi ia selalu terbayang akan
kejadian-kejadian yang membuatnya menciut seketika ketakutan demi ketakutan
yang menghinggapinya tak bisa terkendali. bayang akan darah, pukulan, suara
gemuruh pistol dan serdadu-serdadu Belanda yang menyerang. pada kejadian itu
berlangsung Guru Isa tak dapat berbuat
apa-apa, tak ada tindakan membela diri atau kembali menyerang lawannya ia hanya
bersembunyi dan membungkuk itu saja yang dilakukannya ketika musuh menyerang.
Seperti dalam kutipan dibawah ini.
Isa
menutup mukanya dengan kedua belah tangannya, dan mengarang perlahan-lahan. Dia
tidak tahu. Tapi apa yang dirasanya sekarang ialah reaksi yang lambat yang
sekarang timbul dari perasaan ketakutannya yang tertekan tadi. Sekarang keluar
semuanya dalam bentuk-bentuk yang lain. Banyak yang ditakutinya timbul.
Hari-hari depan yang kabur dan menakutkan. Keselamatan istri dan anaknya.
Penghidupan yang semakin mahal. Dan gaji yang tidak cukup. Hutang pada warung
yang sudah dua bulan tidak dibayar. Sewa rumah yang sudah dihutang tiga bulan.
Perhiasan istrinya di pajak gadai.[15]
Kehadiran tokoh
Hazil sebagai perbandingan tokoh, ia adalah sosok yang pemberani
memperjuangakan kemerdekaan, dia adalah sosok pemuda yang tangguh semangatnya
menyala-nyala dengan sepucuk pistol ia hadir sebagai pejuang yang melawan para
penjajah. pada suatu ketika ia dipertemukan dengan Fatimah sebagai Istri Guru
Isa pertemuan keduanya membawa dosa dan perzinahan diceritakan ia bercinta
dengan istri Guru Isa pada saat Guru Isa jatuh sakit. hingga pada suatu ketika
Guru Isa mendapati Bukti bahwa istrinya berselingkuh dengan Hazil. Hadirnya
Hazil dalam rumah tangga Guru Isa membuat kedudukannya sebagai suami yang lemah
dimata seorang istrinya.
Pertemuan yang
menyatukan tokoh Guru Isa dan Hazil yaitu hanya dengan musik. keduanya menyukai
musik satu persamaan yang lekat akan diri mereka masing-masing. Walau Guru Isa
adalah sosok laki-laki yang penakut dan Hazil adalah sosok laki-laki yang
pemberani dengan musik mereka dapat berdampingan. Seperti dalam kutipan dibawah
ini pembicaraan Guru Isa pada hazil
“Gesekan
biolamu, meskipun belum lancar dan mahir, mengandung tanaga” kata Guru Isa
kepada Hazil memuji.[16]
Pada suatu
ketika ada kronologis yang menceritakan tokoh Hazil dan Guru Isa terlibat dalam
sebuah serangan, mereka berdua ikut memperjuangkan kemerdekaan namun apa yang
terjadi, mereka sama-sama ditahan dengan luka amat parah, menurut Guru Isa pada
itulah momen yang paling ditakuti Guru Isa. Pada akhirnya Guru Isa merasa bahwa
ia memiliki alasan yang nyata untuk merasa takut. Namun kenyataan tersebut
membuatnya tidak seburuk yang ia bayangkan ketakutan demi ketakutan Guru Isa
dapat dikendalikan dengan baik. Suatu ketika ia menyaksikan Hazil sebagai sosok
yang pemberani itu tumbang, kepercayaaan dirinya lenyap Hazil tak dapat
melumpuhkan -rlebih yang dialaminya membuat Guru Isa semakin yakin akan rasa
percaya dirinya dan pada akhir cerita Guru Isalah yang pemberani menghadapi
semua ketakuatannya. novel ini selalu menceritakan tentang kompetisi dan
persaingan sosok laki-laki dalam hal keberanian maupun sesuklitas. Terlihat
jelas dari kutipan dibawah ini bahwa tokoh Guru Isa mendapat kepercayaan
dirinya setelah melihat Hazil tumbang.
Guru Isa
masih melihat terus padanya. Perlahan-lahan, amat lambat sekali dia mengerti
kata-kata yang ditangiskan Hazil, yang menjelaskan di sela-sela tangis dan
isak-isak Hazil – aku bersalah, aku berkhianat, aku tidak tahan sisaan mereka--
tidak tahan siksaan mereka—biar aku mati sekarang – aku tebus
pengkhianatanku—biar aku mati – ampuni aku – ampuni aku. Dan melihat Hazil
demikian, Hazil perwira yang bersemangat, yang berani, selama ini, baru
seminggu dalam tahanan mereka telah turun hancur menjadi seorang yang harus
dikasihani, yang menangis-nangis meminta-minta ampun; sesuatu perasaan ganjil
timbul dalam hati Guru Isa.[17]
Novel Jalan Tak
Ada Ujung sangat jelas menggambarkan bagaimana keadan pasca kemerdekaan. Banayk
pesan yang tersirat dalam novel tersebut, salah satunya sebuah pesan tentang
kesetia kawanan yang terjalin antara guru Isa dan Hazil. Mereka berjuang
bersama-sama untuk melawan serdadu-serdadu Belanda. Juga terdapat pesan yang
tersirat oleh tokoh Guru Isa yang selalu sabar dalam menjalani kehidupan yang
berat pada era perjuangan.
DAFTAR
PUSTAKA
K.S
Yudiono.2010.Pengantar Sejarah Sastra
Indonesia. (Jakarta: PT Grasindo)
Marco
Kartodikromo Mas.2015.Student Hidjo (Jakarta: Balai Pustaka)
Moeis Abdoel.2002. Salah Asuhan,
(Jakarta: Balai Pustaka)
Pane Armijn. 2012.Belenggu.
(Jakarta: Dian Rakyat)
Hamidah. 2011.Kehilangan Mestika.
(Jakarta: Balai Pustaka)
Hellwid
Tineke. 2003.In The Shadow Of Change. (Depok : Desantara)
Lubis
Mochtar.1992. Jalan Tak Ada Ujung. (Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia)
[4] Abdoel Moeis, Salah Asuhan,
(Jakarta: Balai Pustaka,2002), hlm. 67
[5] Ibid, hlm. 62
[6] Ibid, hlm. 83
[7] Ibid, hlm. 132-133
[8] Armijn Pane, Belenggu,
(Jakarta: Dian Rakyat,2012), hlm.16
[9] Ibid. hlm. 144
[10] Hamidah, Kehilangan Mestika,
(Jakarta: Balai Pustaka,2011), hlm. 18
[11] Ibid, hlm.19
[12] Ibid, hlm.48-49
[13] Ibid, hlm.49
[14] Tineke Hellwid,in the Shadow
of Change, (Depok : Desantara, 2003), hlm. 78
[16] Ibid.37
[17] Ibid. 158
Tidak ada komentar:
Posting Komentar