Perempuan
yang Tergusur
Hujan lebat turun di hulu subuh
disertai angin gemuruh
yang menerbangkan mimpi
yang lalu tersangkut di ranting pohon
Aku terjaga dan termangu
menatap rak buku-buku
mendengar hujan menghajar
dinding
rumah kayuku.
Tiba-tiba pikiran mengganti
mimpi
dan lalu terbayanglah
wajahmu,
wahai perempupan yang
tergusur!
Tanpa pilihan
ibumu mati ketika kamu bayi
dan kamu tak pernah tahu siapa ayahmu.
Kamu diasuh nenekmu yang miskin di desa.
Umur enam belas kamu dibawa ke kota
oleh sopir taxi yang mengawinimu.
Karena suka berjudi
ia menambah penghasilan sebagai germo.
Ia paksa kamu jadi primadona
pelacurnya.
Bila kamu ragu dan murung,
lalu kurang setoran kamu
berikan,
ia memukul kamu babak belur.
Tapi kemudian ia mati
ditembak tentara
ketika ikut demontrasi
politik
sebagai demonstran bayaran.
Sebagai janda yang pelacur
kamu tinggal di gubuk tepi kali
dibatas kota
Gubernur dan para anggota DPRD
menggolongkanmu sebagai tikus got
yang mengganggu peradaban.
Di dalam hukum positif tempatmu tidak ada.
Jadi kamu digusur.
Didalam hujuan lebat pagi
ini
apakah kamu lagi berjalan
tanpa tujuan
sambhil memeluk kantong
plastik
yang berisi sisa hartamu?
Ataukah berteduh di bawah
jembatan?
Impian dan usaha
bagai tata rias yang luntur oleh hujan
mengotori wajahmu.
kamu tidak merdeka.
Kamu adalah korban tenung keadaan.
Keadilan terletak diseberang highway yang bebahaya
yang tak mungkin kamu seberangi.
Aku tak tahu cara seketika
untuk membelamu.
Tetapi aku memihak kepadamu.
Dengan sajak ini bolehkan
aku menyusut keringat dingin
di jidatmu?
O,cendawan peradaban!
O, teka-teki keadilan!
Waktu berjalan satu arah
saja.
Tetapi ia bukan garis lurus.
Ia penuh kelokan yang
mengejutkan,
gunung dan jurang yang
mengecilkan hati,
Setiap kali kamu lewati
kelokan yang berbahaya
puncak penderitaan yang
menyakitkan hati,
atau tiba di dasar jurang
yang berlimbah lelah,
selalu kamu dapati kedudukan
yang tak berubah,
ialah kedudukan kaum
terhina.
Tapi aku kagum pada daya tahanmu,
pada caramu menikmati setiap kesempatan,
pada kemampuanmu berdamai dengan dunia,
pada kemampuanmu berdamai dengan diri sendiri,
dan caramu merawat selimut dengan hati-hati.
Ternyata di gurun pasir
kehidupan yang penuh bencana
semak yang berduri bisa juga
berbunga.
Menyaksikan kamu tertawa
karena melihat ada kelucuan
di dalam ironi,
diam-diam aku memuja kamu di
hati ini.
Cipayung Jaya
3 Desember 2003
Rendra
Tidak ada komentar:
Posting Komentar